Bis merupakan salah satu
transportasi yang disenangi masyarakat. Termasuk aku yang selalu menggunakan
bis ketika pulang pergi Bontang-Samarinda. Selain lebih aman, juga lebih irit.
Setiap libur, ku selalu
menyempatkan diri untuk pulang ke rumah. Maklum, sejak kuliah, ku jarang sekali
berkumpul bersama keluargaku. Ku ingat sebuah kejadian yang begitu sangat mengesankan
dalam perjalanan pulang ke Bontang. Hari itu, kuliah benar-benar padat.
Beberapa hari sebelumnya ku lembur menyelesaikan tugas makalah dan proposal
kegiatan kajian kemuslimahan mushola yang
semuanya dikejar deadline. Setelah tiba dikontrakan, ku segera membersihkan
diri dan bergegas menuju terminal bis di Lempake.
Ku benar-benar sangat lelah saat
itu. Seharian hanya sepotong roti saja yang masuk ke perut. Siang itu ku tidak
sempat makan siang karena harus mengejar-ngejar dosen untuk meminta tanda
tangan di proposal. Setelah itu, dilanjutkan kuliah kembali hingga asar. Sebenarnya
setelah asar ada syuro panitia kajian, tapi karena khawatir ketinggalan bis
terakhir, ku meminta ijin untuk tidak ikut syuro.
Sesampainya di terminal, ternyata
suasana terminal masih sangat ramai. Bis jurusan terakhir belum juga datang. Kurang
lebih 45 menit dari jadwal tibanya, Begitu info yang kudengar dari petugas
terminal waktu itu. Usai solat asar tadi, ku belum almatsurat. Ku memilih duduk
di sebuah bangku berwarna hijau yang ada disisi kanan pintu masuk. Ada seorang wanita
seusiaku juga sedang duduk waktu itu. Masya Allah, pakaiannya sungguh sangat minim
dan tak pantas dikenakannya. JIka dia seorang muslimah, tentu fatimah Az zahro
akan sedih melihatnya. Begitupun aku. Berapa banyak mata dan hati yang
bermaksiat jika melihat pemandangan seperti ini. Hatiku beristigfar.
Ku segera duduk disamping wanita
tersebut dengan tetap berusaha seramah mungkin. Walau bagaimanapun, dia tetap
adalah saudaraku sesama wanita. Ku perkenalkan namaku. Begitupun sebaliknya.
Ternyata dalam sekejap kami sudah begitu akrab. Kini ku tahu ternyata dia
seorang muslimah sama seperti ku. Sesekali ia menanyakan tentang pengalaman
kuliahku hingga keluargaku. Pembicaraan kami terputus ketika Fina, begitu nama
sapaannya meminta izin untuk ke wc terlebih dulu. Ku keluarkan almatsuratku. Setelah
ta’awudz, ayat demi ayat surat
alfatihah ku baca. Hatiku dan kedua mataku mencoba untuk mentadabburi
terjemahan ayat-ayat yang kubaca. Sesekali mataku tertuju ke bahasa arabnya
sekedar mengecek tajwidnya. Meski bacaan almatsurat ini sudah sepenuhnya
kuhapal, tapi ku lebih senang jika tetap membukanya karena membuatku lebih
khusyuk dalam berzikir.
Setelah selesai menuntaskan
almatsurat tersebut, ku segera menyimpannya kembali kedalam tasku. Fina sedang
asyik memainkan hpnya. Ku meminta izin ke fina sekaligus menitipkan tasku
padanya karena ku ingin ke WC untuk berwudhu. Sepertinya aku akan magrib dan
isya di perjalanan. Ketika ku menitipkan tasku, Fina sempat keberatan dan
menyarankan agar ku membawanya saja. Ia menanyakan mengapa ku begitu
mempercayainya, bagaimana jika ternyata dia seorang pencuri dan membawa lari
tas milikku. Tampak sekali dahinya mengernyit menunjukkan tanda keheranan dan
penasarannya. Ku lemparkan senyum padanya dan mengatakan jika engkau lari dan
membawa tas milikku pergi, biarlah Allah yang akan mengejarmu saudariku. Ku yakinkan
bahwa ku tidak akan lama dan akan segera kembali.
Selesai wudhu dan merapikan
kembali jilbabku, ku segera menuju ke bangku tempat dudukku. Tampak Fina masih
sedang asyik dengan Hpnya. Ku dekati dan segera duduk kembali. Tas milikku
diserahkan kembali padaku. Pembicaraanpun berlangsung kembali. Ku memulainya
dengan menanyakan tentang kesibukannya yang dari tadi terus memainkan Hpnya,
apa ia sedang menghubungi keluarganya dirumah atau tidak. Dia pun mengatakan
kalo dari tadi sedang memperbaruhi status FB-nya. Setelah itu, dia meminta
alamat FB ku dan ingin menjadi teman ku. Katanya agar kami tetap bisa saling
memberi kabar satu sama lain.
Fina pun menanyakan buku kecil yang tadi ku baca. Dia menanyakan kenapa ku begitu serius sekali membacanya.Ku pun menjelaskan kalau buku kecil yang dimaksud adalah almatsurat, kumpulan dzikir yang bagus sekali di baca pagi dan sore hari. Dia lanjut menanyakan beberapa pertanyaan lain seperti apakah ku tidak risih memakai pakaian seperti yang ku kenakan sekarang. Dengan perlahan, ku susun dengan baik jawabanku agar sebisa mungkin tidak menyinggung perasaannya. Tiba-tiba semua menjadi tenang dan senyap. Fina sedikitpun tidak mengeluarkan kata-kata. Perasaanku menjadi tidak menentu. Apa kediaman Fina menunjukkan dia sedang memahami penjelasanku ataukah ku telah menyinggung perasaannya. Ku terdiam.
Fina pun menanyakan buku kecil yang tadi ku baca. Dia menanyakan kenapa ku begitu serius sekali membacanya.Ku pun menjelaskan kalau buku kecil yang dimaksud adalah almatsurat, kumpulan dzikir yang bagus sekali di baca pagi dan sore hari. Dia lanjut menanyakan beberapa pertanyaan lain seperti apakah ku tidak risih memakai pakaian seperti yang ku kenakan sekarang. Dengan perlahan, ku susun dengan baik jawabanku agar sebisa mungkin tidak menyinggung perasaannya. Tiba-tiba semua menjadi tenang dan senyap. Fina sedikitpun tidak mengeluarkan kata-kata. Perasaanku menjadi tidak menentu. Apa kediaman Fina menunjukkan dia sedang memahami penjelasanku ataukah ku telah menyinggung perasaannya. Ku terdiam.
Bis Jurusan Samarinda-Bontang
akhirnya datang. Ku dan Fina segera naik ke bis tersebut. Awalnya ku kira Fina tidak
akan mau duduk didekatku lagi dikarenakan ku telah menyinggung perasaannya
namun ternyata ku salah. Fina menunjuk 1 barisan kursi tuk dua orang dan
mengisyaratkan padaku untuk duduk disitu. Beberapa menit kemudian, bis pun
berjalan. Di tengah perjalanan, Fina tiba-tiba mengutarakan niatnya untuk
berjilbab. Dia ingin berubah, dia ingin sepertiku. Pernyataan itu membuatku
langsung menjawab jika niat itu sudah bulat, maka kuatkanlah dirimu untuk
melaksanakannya. Sebagai seorang muslimah, kita memiliki contoh Fatimah az Zahra,
putri baginda Rasulullah saw. Beliaulah teladan muslimah sejati. Ku hanya wanita
yang sedang belajar mencontohi beliau, maka janganlah kau katakana ingin
berubah sepertiku karena ku sendiri tidak tahu apakah diriku jauh lebih mulia
dihadapan Allah. Berubahlah karena Allah. Fina menangis. Hatiku berdesir kagum
dengan sosok yang ada disampingku saat ini. Rasa syukur dan doa segera ku
panjatkan dalam hati moga Allah memberikan hidayah-Nya pada Fina dan diriku.
Dengan suara terbata-bata, Fina
melanjutkan pembicarannya kembali selama ini keinginannya untuk berjilbab
sangatlah besar, namun ia belum memiliki rasa percaya diri, sehingga ia
memutuskan untuk berusaha menjilbabkan hatinya terlebih dahulu. Ku terdiam
sesaat dan mencoba memulai pembicaraan kembali dengan menanyakan apa ia pernah
mendengar kisah “ada seorang wanita yang dikenal taat beribadah. Ia kadang
menjalankan ibadah sunnah. Hanya satu kekurangannya. Ia tak mau berjilbab.
Menutup auratnya. Setiap kali ditanya ia hanya tersenyum dan menjawab, “Insya allah.
Yang penting hati dulu yang berjilbab.” Sudah banyak orang yang menanyakannya
maupun menasehatinya. Tapi jawabannya tetap sama.
Hingga di suatu malam Ia bermimpi
sedang di sebuah taman yang sangat indah. Rumputnya sangat hijau, berbagai
macam bunga bermekaran. Ia bahkan bisa merasakan segarnya udara dan wanginya
bunga. Sebuah sungai yang sangat jernih hingga dasarnya kelihatan, melintas di
pinngir taman. Semilir angin pun ia rasakan di sela-sela jarinya. Ia tidak
sendiri. Ada beberapa wanita disitu yang terlihat juga menikmati keindahan
taman. Ia pun menghampiri salah satu wanita. Wajahnya sangat bersih,
seakan-akan memancarkan cahaya yang sangat lembut.
“Assalamualaikum, saudariku..”
“Wa alaikumsalam.. Selamat
datang, saudariku.”
“Terima kasih. Apakah ini surga?”
Wanita itu tersenyum. “Tentu saja
bukan, saudariku. ini hanyalah tempat menunggu sebelum ke surga.” “Benarkah?
Tak bisa kubayangkan seperti apa indahnya surga jika tempat menunggunya saja
sudah seindah ini.”
Wanita itu tersenyum lagi.
“Amalan apa yang bisa membuatmu kemari, saudariku?”
“Aku selalu menjaga waktu sholat
dan aku menambahnya dengan ibadah sunnah.”
“Alhamdulillah..”
Tiba-tiba jauh di ujung taman ia
melihat sebuah pintu yang sangat indah. Pintu itu terbuka. Dan ia melihat
beberapa wanita yang berada di taman mulai memasukinya satu persatu.
“Ayo, kita ikuti mereka.” kata
wanita itu sambil setengah berlari.
“Apa di balik pintu itu?” katanya
sambil mengikuti wanita itu.
“Tentu saja surga, saudariku”
larinya semakin cepat.
“Tunggu…tunggu aku..” ia berlari
namun tetap tertinggal.
Wanita itu hanya setengah berlari
sambil tersenyum padanya. Ia tetap tak mampu mengejarnya meski ia sudah
berlari. Ia lalu berteriak, ” Amalan apa yang telah kau lakukan hingga kau
begitu ringan?”
“Sama denganmu, saudariku.” jawab
wanita itu sambil tersenyum.
Wanita itu telah mencapai pintu.
Sebelah kakinya telah melewati pintu. Sebelum wanita itu melewati pintu
sepenuhnya, ia berteriak pada wanita itu, “Amalan apalagi yang kau lakukan yang
tidak kulakukan?”
Wanita itu menatapnya dan
tersenyum. Lalu berkata, “Apakah kau tak memperhatikan dirimu apa yang
membedakan dengan diriku?”
Ia sudah kehabisan napas, tak
mampu lagi menjawab.
“Apakah kau mengira Rabbmu akan
mengijinkanmu masuk ke surgaNya tanpa jilbab menutup auratmu?”
Tubuh wanita itu telah melewati
pintu, tapi tiba-tiba kepalanya mengintip keluar, memandangnya dan berkata,
“Sungguh sangat disayangkan amalanmu tak mampu membuatmu mengikutiku memasuki
surga ini. Maka kau tak akan pernah mendapatkan surga ini untuk dirimu.
Cukuplah surga hanya sampai di hatimu karena niatmu adalah menghijabi hati.”
Ia tertegun..lalu
terbangun..beristighfar lalu mengambil air wudhu. Ia tunaikan sholat malam.
Menangis dan menyesali perkataannya dulu..berjanji pada Allah sejak saat itu ia
akan menutup auratnya.
Tangisan Fina semakin kencang. Ku
tidak menyangka sedemikian lembut hatinya. Ternyata demikianlah hidayah, ketika
ia datang menyapa hati, maka tidak akan ada satu hatipun yang tidak akan
tertawan olehnya. Akhirnya azan magrib sayup terdengar dari pengeras suara
masjid yang kami lalui. Ku mengajak Fina untuk solat magrib bersama,
mengajarinya tayamum dan meminjamkan mukena milikku. Saat itu, ku merasakan
ketenangan yang begitu luar biasa. Tak bisa kubayangkan bagaimana
kegembiraan dan ketenangan batin yang dirasakan Fina.
Sebelum kami berpisah di terminal
Bontang, ku dan Fina saling bersalaman. Masih tergambar jelas hingga sekarang
wajahnya begitu penuh ketenangan dengan senyuman yang terukir. Fina berjanji
padaku untuk menemuiku jika suatu saat kembali ke Samarinda dan saat itu ku
akan melihatnya telah menggunakan jilbab. Ku mendoakan semoga keinginannya
dikabulkan Allah dan senantiasa diberi keistisqomahan. Ku mengambilkan al-Quran
terjemahan yang ada ditasku dan ku memintanya untuk menjaga benda yang paling
kusayangi tersebut dan senantiasa membacanya. Ia memelukku sambil menangis. Ku
tidak dapat menahan airmataku. Meski baru mengenalnya beberapa jam lalu, namun kami
merasakan kedekatan selayaknya saudara. Ya, kami sejatinya adalah saudara yang
diikat oleh aqidah yang sama.
Sesampainya dirumah, usai makan
malam. Ku masuk ke kamar dan merebahkan badanku dikasur. Saat itu, ku membuka
Hp dan mengaktifkan FB ku. Ternyata ada beberapa permintaan pertemanan. Pandanganku
tertuju pada sebuah nama “Rafina Setiawan”. Ku klik nama tersebut dan
memastikan apakah ini benar Fina melalui foto profilnya. Ternyata benar, pemilik
nama lengkap “Rafina Setiawan” adalah wanita yang ku sapa Fina. Saat itu, ku
menulis di dinding FB-nya, “Saudariku yang ku cintai dan dicintai Allah,
Sambutlah hidayah Allah dan jagalah ia dimanapun engkau berada. Selamat
istirahat”
0 komentar:
Posting Komentar