Ada Sajadah Panjang Terbentang


Bismillahirrahmanirrahim
Maha Suci Allah, Dzat yang tidak satupun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Menatap dan Maha Mendengar. Merupakan sebuah karunia ketika diri ini diberi kesempatan menjalani aktivitas di Rumah Sakit. Karena disinilah, Allah SWT mengajarkan kepada diri ini untuk memetik berjuta hikmah ketika berhadapan pada dua sisi bernama HIDUP dan KEMATIAN.

Beberapa waktu lalu, saat sedang menyaksikan tayangan di televisi, di akhir acara tersebut, dibawakanlah lagu Bimbo “Ada Sajadah Panjang Terbentang”. Ketika diri ini menghayati bait demi bait lagu tersebut, saya pun tertegun dan merasa malu. Meski mengetahui bahwa hidup didunia ini tidak selamanya, namun pemaknaan tentang cara menjalani hidup yang sebentar ini masih harus perlu dibenahi. Saya hadirkan tulisan ini agar menjadi pengingat dalam rangka menasehati diri pribadi dan bagi siapa saja yang ingin membacanya.

Saudaraku,
Dalam sholat yang kita tegakkan, kita selalu mengikrarkan: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah." (Al-An'aam 162-163)
Sudahkah hidup kita sejalan dengan ikrar yang selalu kita ucapkan? Sholat kita hanya untuk Allah? Ibadah kita hanya untuk Allah? Hidup dan mati kita hanya untuk Allah?


Saudaraku,
Celaan terhadap dunia sebagaimana yang tersebut dalam Al-Quran dan As-Sunnah bukanlah celaan yang ditujukan kepada siang dan malam yang berlangsung sampai hari kiamat, karena Allah SWT memang menjadikannya berganti-ganti sebagai masa untuk berzikir dan bersyukur bagi manusia yang menginginkannya. Tidak pula ditujukan kepada bumi, tempat dunia ini berada. Bukan pula pada gunung-gunung, lautan, dan kekayaan yang ada didalamnya. Karena semua ini merupakan nikmat Allah SWT bagi manusia agar mereka dapat mengambil manfaatnya, mengambil pelajarannya serta menjadikannya sebagai bukti kebesaran Allah azza wa jalla.

Saudaraku,
Ketahuilah  bahwasanya celaan itu ditujukan kepada manusia, kepada diri-diri yang terlenakan oleh dunia. “Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, senda gurau yang melalaikan, perhiasan, saling berbangga diri diantara kalian dan saling memperbanyak harta dan anak. (QS AlHadid:20)”

Saudaraku,
Baginda Rasul pernah menasihati seorang sahabat dengan mengatakan, “Di dunia ini, jadilah kamu seperti orang asing atau seorang pengembara”. Dalam pengembaraan ini, manusia terbagi menjadi dua kelompok besar:
Golongan pertama adalah mereka yang mengingkari adanya kampung akhirat, adanya hari dibangkitkan setelah kematian serta adanya hari pembalasan setelah kehidupan dunia. “Sesungguhnya  orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, merasa puas dengan kehidupan dunia dan merasa tentram dengan kehidupan itu serta orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya adalah di neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.(QS.Yunus:7)”
Mereka adalah orang–orang yang seluruh hidupnya hanya digunakan untuk bersenang-senang, menikmati dunia dan berusaha mencapainya sebelum kematian tiba. “Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Neraka adalah tempat tinggal mereka” (QS.Muhammad:12).

Saudaraku,
Tahukah golongan kedua yang dimaksud? Mereka adalah orang-orang yang menyakini adanya alam pembalasan setelah kematian. Diantara mereka pun berbeda-beda dalam memaknai hidup sehingga mereka terbagi lagi menjadi tiga golongan; golongan pertama yang paling banyak jumlahnya, mereka beriman kepada akhirat, namun tidak mengerti apa itu dunia, bahwa ia sebagai tempat berbekal menuju akhirat. Waktu mereka lebih banyak dihabiskan untuk bersenang-senang. Golongan kedua adalah mereka yang melaksanakan seluruh yang wajib, lalu membiarkan dirinya bersenang-senang menikmati dunia. Dan terakhir, jumlah mereka paling sedikit, mereka adalah orang yang paham tujuan dari dunia, memahami bahwa kehidupan ini adalah ujian untuk mengetahui siapa yang paling baik amalnya. Hidup bergelimang harta maupun tidak memiliki harta sama sekali, senang ataupun duka, sebagai atasan maupun bawahan, semuanya dipandang sebagai ujian. Mari kita tanyakan pada jiwa-jiwa kita (Dan  biarkan jiwa-jiwa menjawab dengan kejujuran), Berada digolongan mana diri-diri kita?

Saudaraku,
Indah sekali perkataan seorang Hasan Al-Bashriy, “betapa indahnya dunia ini bagi seorang mukmin; karena ia beramal sedikit saja dan mengambil bekalnya disana menuju  surga. Dan betapa buruknya dunia ini bagi orang kafir dan munafik, karena keduanya menyia-nyiakan malam-malam di dunia dan dunia ini menjadi bekal mereka menuju neraka.”

Saudaraku,
Sungguh hidup ini ibarat hamparan sajadah panjang yang terbentang. Ia memiliki batas akhir yang tentu saja berbeda kadarnya bagi setiap orang.  Itulah umur. Ia dimisalkan seperti sekantung pasir dengan lobang kecil di bagian bawahnya. Pasir itu akan jatuh sedikit demi sedikit hingga kantung tersebut akan menjadi kosong. “Umur itu pendek, maka jangan diperpendek dengan kelalaian.” Sehingga bagi seorang mukmin, ia mengambil dunia sekadar memenuhi kebutuhannya beribadah kepada Allah, bukan dijadikan sebagai maksud dan tujuan dari hidupnya. Seperti kendaraan yang singgah di tempat pengisian bahan bakar minyak, setelah keperluannya selesai, kendaraan itupun segera pergi karena sang supir sadar, bahwa tempat pemberhentianya bukanlah disit, melainkan di rumah.

Saudaraku,
Sungguh, hidup ini ibarat hamparan sajadah panjang yang terbentang. Imam syafi’I dalam salah satu wasiat sebelum sepeninggalnya menasihati “..Aku menyakini bahwa Allah pasti akan membangkitkan mereka yang berada dalam kubur. Aku mengimani syurga dan neraka adalah benar adanya, dan mengimani bahwa azab kubur, hisab, misan dan shirath adalah benar. aku menyakini bahwa Allah pasti akan membalas hamba-hamba Nya sesuai perbuatan mereka. Atas keyakinan demikianlah, aku hidup, mati dan dibangkitkan kelak. Insya  Allah…”
Dari nasihat ini, beliau menegaskan akan pentingnya membangun kesadaran akan memahami hidup ini. Apa yang akan kita jawab pada hari hisab, pada saat kita ditanya? Sebab ditanya, itu pasti. Tapi bagaimana dan dengan apa kita menjawabnya?”.

Saudaraku,
Sekali lagi, sungguh hidup ini ibarat hamparan sajadah panjang yang terbentang. Setiap saat dan tempat, dalam setiap aktivitas, kita harus senantiasa berzikir kepada Allah SWT. Menyandarkan segala sesuatu semata karena-Nya. Mari kita bentangkan sajadah tersebut tidak terbatas pada mushola/masjid, pengajian-pengajian ataupun dalam ibadah sholat semata. Namun bentangkanlah sajadah itu memasuki gedung-gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan, rumah sakit, sekolah, perkantoran dan lain sebagainya. Semuanya dikerjakan dalam rangka mencari keridhoan Allah SWT semata. Tentu ini bukanlah perkara sulit ketika kita memiliki pemahaman yang utuh tentang hidup ini, tentang umur ini dan tentang hakikat diri.
Wallahu ‘alam

Ramadhan, Jangan Pergi Dulu!!!











Sudah lebih setengah jam, ia menelungkup wajahnya di tempat sujud. Airmatanya sudah cukup membuat sajadahnya basah. Kedua lututnya telah lelah menumpu berat badannya. Kedua tangannya bergetar menahan posisi yang sama sekian lama. Namun ia belum juga beranjak dari sujudnya. Tidak terlihat tanda-tanda ia akan segera mengakhiri sujud di rakaat terakhir solat tarawih yang ia kerjakan. Sesekali punggungnya bergetar menahan tangis yang meledak dalam kebisuannya. Bibirnya tak berhenti mengucapkan doa dan zikir kepada Allah. Semua hening, namun tidak dengan hatinya yang sedang bergejolak. Berharap cemas. Berharap waktu bisa berhenti sejenak agar tersedia waktu lebih agar ia bisa melaksanakan amalan sebelum ramadhan kali ini benar-benar berakhir meninggalkannya. Mencemaskan kalau-kalau sangat sedikit amalan di ramadhan ini yang diterima di sisi-Nya dan membayangkan jika ramadhan ini adalah ramadhan terakhir baginya.


Seperti ramadhan tahun-tahun sebelumnya, kali ini Ramadhan memberikan arti tersendiri bagi dirinya. Begitu banyak peristiwa besar yang dialaminya di awal tahun ini hingga ketika ramadhan datang menyapa. Semua ibarat kepingan-kepingan puzzle yang tersusun begitu rumit dan sulit untuk diselesaikan. Namun, demikianlah hidup. Tetap harus berjalan.


"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta jiwa dan buah-buahan. Dan
berikan khabar gembira kepada orang-orang yang sabar,
yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan:
'Innaa lillahi wa inna ilaihi raajiuun'.
Mereka itu yang mendapat keberkatan dan rahmat yang sempurna dari
Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk."
(Al-Baqarah 155-157)


Seolah ia tidak ingin detik, menit dan jam berlalu saat itu. Tidak ingin malam segera berlalu dan terganti dengan mentari di pagi terakhir ramadhan. Diambilnya Al-Quran bersampul merah yang terletak di meja disudut kamarnya. Kini, ia mulai membaca ayat demi ayat surat Ar Rahman. Dengan suara yang bersih dan tartil, ia mulai membaca surat yang dikenal sebagai penggantinya Al-Quran tersebut.


Dengung dan isak tangis mengiringi ketika ia sampai pada  ayat “Fabiayyi alaairobbikuma tukadzibaan” (maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang engkau dustakan). Ia tidak mampu menahan tangisnya saat  ayat pengingat neraka dibacakannya. Saat orang-orang berdosa dikenal dengan tandanya, lalu dipegang ubun-ubun dan kaki mereka. Saat ditunjukkan neraka jahannam yang telah mereka dustakan. Saat digambarkan mereka berkeliling diantaranya dan diantara air mendidih yang memuncak panasnya.


Ia menangis, saat ayat perindu syurga dibacakannya. Saat dijanjikan kepada mereka dua syurga. Saat digambarkan didalamnya terdapat buah-buahan yang dekat, mata air yang memancar, permadani yang berbahan sutra. Ia menangis saat ditunjukkan bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia dan jin sebelumnya, yang jelita,putih, bersih, dan dipingit dalam rumah. Ia cemburu…
***


Ramadhan sebentar lagi akan pergi dan tergantikan dengan bulan-bulan setelahnya. Berjuta keberkahan dan kebaikan yang menyertainya pun akan ikut berlalu seiring kepergian ramadhan dalam hidup kita. Tidak ada yang berkurang sedikitpun kecuali usia kita yang pastinya yang akan terus berkurang yang menandakan kesempatan pertemuan kita dengan bulan suci dan mulia itu semakin berkurang pula.


Kita tidak pernah tahu kapan jatah hidup kita akan berakhir, dan ramadhan mana yang akan menjadi penutup dari ramadhan-ramadhan yang telah kita lalui. Mungkin lima, sepuluh, dua puluh tahun lagi ramadhan itu akan kita jumpai. Ataukah mungkin ramadhan tahun ini menjadi ramadhan penutup dalam hidup kita. Sungguh, hanya Allah yang maha mengetahui keghaiban usia tiap hamba-Nya.


Andaikan umat terdahulu hadir ditengah kita lalu menyaksikan kita sedang asyik beribadah dan beramal di bulan Ramadhan, mungkin mereka akan sangat iri dan bermohon kepada Allah agar dikarunia nikmat yang sama. Namun sayang, kesempatan ini sering kali kita abaikan. Kenikmatan bersama dengan Ramadhan banyak terlewatkan dengan kelalaian ataupun kondisi-kondisi sulit lainnya seperti kelelahan dalam perjalanan, kesibukan dalam pekerjaan maupun ketidakberdayaan lantaran sakit. Yang membuat waktu kebersamaan kita dengan ramadhan pun terlewatkan.


Orang-orang mukmin selalu belajar dari kesalahan-kesalahan ramadhan lalu untuk kemudian menjadi pengobar semangat menciptakan amalan-amalan unggulan di ramadhan di masa mendatang. Sayang, tidak demikian dengan kita. semangat itu hanya ada di awal ramadhan dan berangsur-angsur terkikis seiring semakin tuanya usia ramadhan yang kita lalui. Sangat jauh kualitas kita dibandingkan dengan sahabat dan shalifus shalih sebelumnya, yang justru semakin menggebu-gebu menyempurnakan amalan di akhir perpisahan ramadhan. Jam tidur mereka kurangi, lambung mereka jauh dari kasur dimalam harinya. Mata-mata mereka lelah menahan kantuk yang amat sangat, demikian pula lisan-lisan mereka yang senantiasa disibukkan dengan tilawah dan zikir pada Allah. Jiwa-jiwa mereka yang selama ini tegar terhadap segala persoalan dunia berubah menjadi jiwa-jiwa yang mudah sekali tersentuh dan menangis. Apakah kita seperti mereka? Sungguh sayang sekali tidak,  kita selalu menyia-nyiakan ramadhan hingga ia berlalu, dan kita keluar dari ramadhan sebagai orang yang merugi, melenggang dengan tangan hampa. Kita bersuka cita, merasa sebagai pemenang padahal dihadapan-Nya kita adalah orang merugi.


Dalam hitungan jam kedepan, ramadhan akan benar-benar meninggalkan kita. rasanya masih sedikit rakaat salat yang mendatangkan kekhusyuan, masih kikir diri-diri ini mengeluarkan sedekah dari rezeki yang diberikan, masih kurang capaian tilawah yang dituntaskan, masih…masih sangat banyak kekurangan pada ramadhan kali ini. Duhai ramadhan, jangan pergi dulu!!!

Ditulis 30 Ramadhan 1432 H.  

Mimpi dari Langit


Alangkah kagetnya diriku. Berada di sebuah padang rumput luas yang hijau. Bagaimana mungkin ku bisa tertidur di bawah pohon seperti ini? Dimana aku saat ini? Ku tersesat. Ku menangis ketakutan. Seorang lelaki muda datang menghampiriku dan menanyakan siapa namaku. Tidak ku hiraukan. Ku hanya menangis hingga akhirnya pemuda itu berlari meninggalkanku. Namun sebelum beranjak pergi, ia mengatakan, ”tunggulah sebentar disini. Ku akan memanggil Rasulullah, Muhammad SAW.”

Apa ku tidak salah mendengarnya? Ia ingin memanggil Rasulullah? Ah, tidak mungkin. Semua menambah kebingunganku saat itu. Beberapa menit kemudian, pemuda itu datang lagi menghampiriku. Kini, ia tidak sendiri. Melainkan bersama seorang lelaki yang jauh lebih tua dibandingkan dirinya. Wajahnya sangat gagah dan putih bersih. Pemuda itu kemudian memperkenalkan lelaki yang kini berada di depanku. Namanya Muhammad Rasulullah SAW. Sedikit tidak percaya, ku hentikan tangisanku dan menfokuskan pendengaran dan penglihatanku terhadap ucapan dan sosok yang kini ku hadapi.

“Apakah benar engkau Rasulullah Muhammad SAW? tanyaku menjawab keraguan.

Sosok itu membenarkan dan memperkenalkan dirinya sebagai Rasulullah Muhammad SAW, selanjutnya mengatakan ”Berhentilah menangis karena sekarang ku akan mengajakmu untuk bertamu ke rumahku.”

Ku pun mengikutinya dari belakang. Melewati keramaian perkampungan padang pasir hingga tepat berada disebuah rumah. Bangunan berbahan dasar batu  dan tidak terlalu luas. Ku dipersilahkan masuk. Didalamnya, terlihat sebuah ruangan kecil seperti ruang tamu dan diberi sekat pembatas dengan dapur. Ku dipersilahkan duduk. Ku tidak dapat berkata apa-apa. Hanya diam menyimak apa yang sekarang ada dihadapan mataku. Tiba-tiba pintu rumah Rasulullah SAW diketuk. Ketika pintu tersebut dibuka, tampaklah tiga lelaki memasuki rumah Rasulullah SAW. ternyata mereka ingin bersama Rasulullah SAW untuk solat. Alangkah terkejutnya aku ketika Rasulullah SAW memperkenalkan satu persatu ketiga lelaki yang menjadi tamu Rasul saat itu. Mereka adalah Abu Bakar As siddiq ra, Umar bin Khattab ra dan Utsman bin Affan ra. Ketika Rasul akan meninggalkan rumah, Rasul memintaku untuk tinggal disini sejenak dan akan ditemani istri beliau yang sedang berada di dapur. Beliau memperkenalkannya padaku dengan menunjuk ke arah wanita yang sedang memasak air ketika itu didapur. Namanya Khadijah bin khuwailid ra.

Ku mengikuti Rasul hingga ke pintu. Memperhatikan bayangan beliau berlalu bersama tiga tamu istimewanya dan pemuda yang ku temui di padang tadi. Segera ku tutup pintu karena angin yang membawa debu pasir ketika itu cukup kencang bertiup.Beberapa saat dirumah Rasul, ku dipertemukan dengan dua orang wanita yang cukup muda. Oleh keduanya ku diajak jalan hingga pada akhirnya kami singgah di sebuah lembah yang sangat indah. Tidak jauh dari tempat kami berdiri, terdapat sekumpulan anak-anak yang sedang membaca ayat-ayat Allah SWT. Suara anak-anak itu sangat merdu  sekali. Ku pun mengatakan kepada kedua wanita yang berada disamping kiri dan kanan, ”Sangat indah sekali tempat ini. Kotanya sangat sejuk. Andai ku bisa tinggal disini.”. Ku pandangi wajah kedua wanita tersebut satu persatu dari samping, belum sempat ku tanyakan nama keduanya, tiba-tiba seluruh pandanganku menjadi gelap. Pekat.

Ku buka kedua mataku, yang tampak adalah langit di luar jendela kamar. Ku terbangun. Lama ku terdiam mencoba mengingat apa yang barusan ku alami. Semua begitu tergambar jelas dan seakan nyata.  Apakah benar ku sedang bermimpi?Apakah benar ku bermimpi bertemu Rasul? Mungkinkah Rasulullah manusia mulia itu sudi bertemu dengan hamba hina ini? Apakah ini karena akumulasi kerinduanku ingin bertemu Kekasih Allah tersebut? Alangkah indahnya hidup ini andai dapat ku tatap wajahmu Rasul? Sungguh tak pantas diri ini. 

Wahai seorang kekasih
telah lama kau dirindui 
pilu sedih dalam kerinduan
menangispun tak berairmata
namun hati tetap gembira
syafaat mu menanti disana...
                     Raihan "Wahai Kekasih"

Sebaik-baik Saudara…


 Dek, ayo bangun….” Suara dibalik pintu kamarku itu begitu akrab ditelinga. Ku lihat jam dinding  menunjukkan pukul 02.30 dini hari. Segera ku bangkitkan dari tempat tidurku, membuka jendela dan melepaskan pandanganku sejenak ke alam bebas. Semilir angin sejuk sesekali menerpa ke wajahku. Sangat menyegarkan. Ku buka pintu kamar dan bergegas ke belakang mengambil air wudhu.

Di ruang tengah, tampak Mbak Wati dan Mbak Diana telah rapi dengan mukena yang dikenakan.

“Uda solat belum Mbak? Afwan, butuh waktu untuk mengembalikan ruh dulu hehe…” candaku untuk mencairkan suasana.

“Belum kok dek, menunggu anty dulu.” Jawab Mbak Diana bersiap iqomah.

“Ayo, ibu imam…” kata Mbak Wati sambil mengiring badan ini berada diantara keduanya.

“Lha, koq saya Mbak?” protes ku

“Iqob bagi yang telat. Hehe..” Kali ini Mbak Diana menggodaku.

“Dimana-mana yang telat, itu jadi masbuk Mbak. Lagipula saya paling junior disini, jadi bagi yang hapalannya paling banyak dan paling senior mohon amal sholehnya.” Jawabku.

“Ayo dek, giliranmu jadi imam malam ini. Yang bacaannya lebih tartil dan indah.” Desak Mbak Wati.

Segera Mbak Diana melantunkan iqomah. Alhasil ku memimpin tahajjud ketika itu. Segera ku beristigfar, melapangkan hati dan mengisyaratkan untuk merapatkan shaf kami. Pada rakaat terakhir, ku  membaca surah Qaaf.

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. Dan ditiupkalah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman. Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat, penggiring dan seorang malaikat penyaksi. Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. Dan yang menyertai dia berkata: 'Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku'. Allah berfirman: 'Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat enggan melakukan kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sembahan yang lain beserta Allah maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat'. Yang menyertai (syetan) dia berkata (pula): 'Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkannya tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh'. Allah berfirman: 'Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu'. Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku. (Dan ingatlah akan) hari (yang pada hari itu) Kami bertanya kepada jahannam: 'Apakah kamu sudah penuh?' Dia menjawab: 'Masih adakah tambahan?'". (QS. Qaaf : 16-30).


Tak bisa ku tahan airmata ini. Seperti malam sebelumnya, Tahajjud malam itu benar-benar nikmat.

Usai solat tahajjud, kami biasanya melanjutkan dengan setor hapalan. Tidak ada batasan jumlah ayat dan surah yang harus dihapalkan. Semua dilakukan sesuai kesanggupan individu. Jika ingin memurojaah hapalan malam sebelumnya juga tidak masalah. Hanya saja, ku malu jika keduanya mampu menyetor hapalan lebih banyak. Sepertinya hal yang sama juga dirasakan keduanya meski tidak pernah di utarakan.

Di saat kebersamaan itulah, biasanya kami manfaatkan untuk saling menguatkan, berbagi cerita mulai permasalahan pribadi, kuliah hingga dakwah di kampus masing-masing. Sulit memang, menceritakan awal kedekatan hubungan diantara kami. Semua berjalan begitu saja, entah mulanya seperti apa, tahu-tahu kami sudah akrab seperti saudara kandung. Berbeda daerah asal serta fakultas namun dipertemukan di jalan dakwah dan tarbiyah serta tinggal di satu atap.

Kini, sudah hampir 3,5 tahun hal itu tidak pernah kami lakukan bersama ketika kami bertiga harus berpisah dan tidak tinggal se-kost lagi. Tidak ada lagi suara mbak Wati atau Mbak Diana yang mengetuk pintu kamarku membangunkan tahajjud, tidak ada lagi setor hapalan menjelang subuh. Sungguh ku merindukan saat-saat itu…

Dua tahun bersama saudara-saudara terbaik
Wajah mereka memancarkan cahaya keimanan
Akhlak mereka membuat ku semakin mencintai Allah dan akhirat
tutur kata mereka menyejukkan hati ini
Mereka mengingatkan ketika ku lalai
menjadi penerang ketika ku dalam kegelapan,
menjadi penghibur ketika ku dalam kesedihan
moga Allah menghimpun kita kembali dalam Jannah-Nya
Ana Uhibbukum fillah.

Dialog di suatu sore


  Tampak dua sahabat sedang duduk di sebuah terminal bus.

“Ukhti, berikan nasihat padaku tentang wanita.” Pinta sahabat pertama.

“Sesungguhnya yang berbicara tidak lebih baik pengetahuannya dari yang mendengarkan.” Sahabat kedua menanggapi sambil mengeluarkan Al-Quran dari tas miliknya. Ia kembali melanjutkan “Alquran menjelaskan setidaknya ada empat tipe wanita.”

Pertama, tipe wanita dengan kepribadian kuat. Tipe ini diwakili oleh Siti Asiyah, istri Fir'aun. Walaupun berada dalam "cengkeraman" Fir'aun, ia tetap teguh menjaga akidah dan harga dirinya sebagai seorang Muslimah. Allah SWT mengabadikan doanya dalam Alquran, ''Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam syurga dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya dan selamatkan aku dari kaum yang zalim (QS. At-Tahrim: 11).

Kedua, tipe wanita yang berusaha menjaga kesucian dirinya. Tipe kedua ini diwakili oleh Siti Maryam. Dalam Surat Maryam ayat 20 disebutkan bahwa Maryam adalah seorang wanita suci yang tidak pernah disentuh seorang lelaki pun. Karena keutamaan inilah, Allah SWT berkenan mengabadikan namanya menjadi nama salah satu surat dalam Alquran dan menjadikannya ibu dari seorang nabi yang agung.

Ketiga, tipe wanita penghasut, penebar fitnah, penggemar gosip, dan sangat buruk hatinya. Ia adalah Hindun, istrinya Abu Lahab. Alquran menjuluki wanita ini sebagai "pembawa kayu bakar" atau wanita penyebar fitnah dan permusuhan. Allah SWT berfirman, ''Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa dan demikian pula istrinya, pembawa kayu bakar yang di lehernya ada tali dari sabut.'' (QS. Al-Lahab: 1-5). Dalam sejarah diceritakan bagaimana "kehebatan" Hindun dalam menyebarkan gosip dan fitnah tentang Rasulullah SAW. Hindun pun dikenal sebagai partner terbaik Abu Lahab untuk menghambat dakwah Islam.

Keempat, tipe wanita penggoda. Tipe ini diperankan oleh Siti Zulaikha. Petualangan Zulaikha dalam menggoda Yusuf, dijelaskan dalam Alquran Surat Yusuf ayat 23, ''Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya, menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu seraya berkata, "Marilah ke sini," Walaupun para tokoh yang dikisahkan dalam Alquran tersebut hidup ribuan tahun yang lalu, tapi karakteristik dan sifatnya tetap abadi hingga sekarang.”
Urai sahabat kedua panjang lebar.

Setelah mendengar penjelasan sahabatnya, maka sahabat pertama memberikan komentar. “Ada tipe wanita pejuang yang kokoh keimanannya. Ada tipe wanita yang tegar dalam menjaga kesucian dirinya. Ada tipe wanita penghasut, dan ada pula tipe wanita penggoda. Tinggal keputusan kita mau memilih yang mana. Memilih yang pertama dan kedua, maka kemuliaan yang akan kita dapatkan. Sedangkan kalau memilih tipe ketiga dan keempat, enak memang karena nafsu terpenuhi, tapi lambat laun kehinaan dunia dan akhirat akan kita dapatkan. Bukan begitu ukhti?”

“Tepat sekali” Jawab sahabat kedua.

Hadiah Ramadhan


 Dengan sedikit tergesa-gesa, ku langkahkan kaki menuju rumah Mbak Ratih yang berada beberapa meter dari kontrakanku. Terlihat Mbak Ratih sedang berada di teras rumah mengawasi si kecil, Suci yang sedang asyik bermain.

“Assalamualaykum. Mbak, apa adik saya menitipkan kunci rumah?’ Tanyaku sambil duduk diteras Mbak Ratih tanpa dipersilahkan.

“Waalaykumussalam. Baru selesai jaga Mbak Nis?” Tanya mbak Ratih sambil masuk kedalam rumah, lalu keluar kembali menyerahkan kunci rumah milik ku.

“Iya Mbak.” jawabku singkat.

“Sepertinya lelah sekali.” Tanya Mbak Ratih kembali.

“Hari ini cukup banyak kerjaan di Rumah Sakit. Banyak pasien.” Jawabku sambil mengamati si kecil Suci yang sedang bermain.

“Dari tadi, Dewi gak keliatan? Kemana Mbak? (Dewi, anak pertama Mbak Ratih usianya 2,5 tahun, selisih 1,5 tahun dengan Suci adiknya).

“Oh, lagi jalan dengan ayahnya.”

Meski baru beberapa bulan pindah ke kontrakan ini, namun keakraban dengan tetangga disekitar kontarakan, Alhamdulilah berlangsung cukup cepat. Tidak jauh berbeda dengan kontrakan sebelumnya. Tetangga disini sangat ramah terutama Mbak Ratih sekeluarga. Hubungan diantara kami bisa dibilang sangat dekat. Beliau sudah menganggapku seperti saudara sendiri. Demikian sebaliknya. Untuk itulah, disela waktu senggang dirumah, ku seringkali bermain ke rumah beliau, walau sekadar bermain dengan Dewi atau Suci yang sudah ku anggap seperti adik sendiri.

Pasti berat ya mengurusi pasien sedemikian banyak dengan kondisi puasa, apalagi saya liat mbak Nisa jarang sekali istirahat?” Tanya mbak Ratih kembali.

Dengan bahasa sederhana ku jelaskan bahwa sebagai muslim tidaklah merasa berat menjalankan puasa. Karena dengan puasa akan lebih dapat mensucikan jiwa dan memberi kesempatan beristirahat bagi tubuh.

Mbak Ratih hanya mengangguk-angguk tanda setuju. Sesekali dari mulutnya keluar kata, "Ooo, begitu."

Setelah dirasakan cukup lama duduk, ku segera bangkit dari kursi. “Ntar lagi berbuka. Ku pulang dulu ya Mbak. Terima kasih kuncinya.”

“Uda beli bukaan belum?” Tanya Mbak Ratih.

“Belum. Tadi buru-buru jadi belum beli. Nanti saja sekalian keluar sebelum Tarawih.” Jawabku berlalu meninggalkan rumah Mbak Ratih.

Tiba dirumah, ku nyalakan semua lampu dan TV menyetel saluran lokal lalu bergegas mandi. Setelah itu, ku siapkan iftor (makanan untuk berbuka) seadanya. Segelas teh hangat sudah cukup. Berada di depan TV menunggu waktu berbuka. Hanya seorang diri.  Adikku yang juga sedang koas, hari ini sedang jaga sehingga berbuka puasa di Rumah Sakit. Sedang kedua adikku yang lain, sedang menghabiskan liburan semester di kampung halaman. Pasti kedua adikku sedang menikmati saat-saat indah berkumpul bersama keluarga disana. Tiba-tiba muncul kerinduan dengan keluarga dan keinginan mencicipi sup buatan Ummi.

Sesaat kemudian terdengar pintu rumah diketuk.

“Iya, sebentar.” Ku raih pintu dan membukanya. Ternyata Mbak Ratih bersama Dewi.

“Masuk Mbak.” Ku persilahkan masuk namun Mbak Ratih menolak.

“Gak disini saja. Ini buat berbuka puasa. Dibeli ama Ayah Dewi pas jalan tadi.”

Sebuah nampan berisi satu mangkuk dan piring yang tertutup serta sebungkus es buah.

“Terima kasih Mbak.”

Mbak Ratih hanya tersenyum dan berpamitan pulang. Namun tidak dengan Dewi yang memilih menemaniku berbuka puasa. Sedari tadi, begitu pintu di buka, ia berlari masuk ke rumah dan tidak ingin pulang.

Ku buka penutup mangkuk dan piring tersebut. Ternyata semangkuk sup dan beberapa gorengan. Subhanallah, Allah yang Maha Mengetahui keinginan hamba-Nya. Meski hanya terbersit sekian detik di hati, ingin menikmati sup, dengan mudah dikabulkan dengan-Nya. Baru saja, diri ini membayangkan kenikmatan berbuka dengan keluarga, Allah yang Maha Pengasih tidak membiarkan diri ini berbuka puasa sendiri melainkan ditemani si malaikat kecil, Dewi.

Tiba-tiba teringat salah satu firman Allah yang berbunyi: " ... dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah niscaya akan mencukupkan keperluannya..." (QS 65:3)

Bisa mengenali dan memiliki keluarga baru disini merupakan salah satu hadiah terindah ramadhan tahun ini. Ramadhan Kariim penuh berkah, rahmah dan maghfirah

Segala puji bagi Allah atas segala nikmat-Nya.

Beginilah Islam mengajarkan mencari pasangan hidup…

 Saya ingin dicarikan orang tua saja!!!”. Begitulah pendapat seorang teman dari diskusi yang saya terlibat didalamnya beberapa waktu lalu. Ada beberapa pandangan yang dikemukakan dan pada akhirnya diskusi ditutup dengan menghargai pendapat dari semua yang hadir saat itu. Berbicara masalah jodoh, mungkin topik ini selalu menjadi salah satu topik perbincangan di tengah pemuda atau pemudi. Dan boleh saja, sering ditanyakan kepada diri kita. Ketika bertemu orang yang lebih tua misalnya, atau ketika bertemu dengan teman lama, maka harus dipersiapkan jawaban sebaik-baiknya ketika ditanyakan kapan akan menikah.
Dalam mencari pendamping hidup, jika kita tidak cerdas menyikapinya, maka boleh saja kitapun salah dalam mengambil langkah. Seperti yang pernah disampaikan oleh salah seorang sahabat yang menceritakan kesedihannya melihat tingkah laku seorang akhwat yang dulunya aktif dakwah kini futur ketika ujian cinta datang menghampirinya. Sahabat  itu tidak menyangka akhwat tersebut yang dulunya sangat semangat dan rela mengorbankan apa saja demi kepentingan da’wah kini rela melakukan apa saja demi menyenangkan hati lelaki yang sangat didambakannya menjadi pendamping hidupnya kelak. Semoga kejadian ini mampu menjadi pelajaran bagi kita semua.

Lalu, bagaimana sebenarnya cara mencari/memilih pasangan hidup sesuai syariat dan diajarkan Rasulullah SAW? Dalam buku “15 Cara & Langkah Mendapatkan Jodoh” ,  Drs. M. Thalib memberikan penjelasan.

Pertama, Mengusulkan kepada Orang Tua

"Salah seorang di antara kedua wanita itu berkata, 'Ya Bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (kepada kita) karena sesungguhnya orang yang paling baik engkau ambil untuk bekerja (kepada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (Al-Qashash: 26).

Ayat di atas mengisahkan dua putri Nabi Syuaib yang ditolong Musa saat memberi minum domba gembalannya di sebuah telaga. Telaga tersebut saat itu dipenuhi penggembala laki-laki yang menggiring dombanya untuk diberi minum. Setelah menerima pertolongan Musa, salah seorang putrid Nabi Syuaib mendapat kesan mendalam terhadapnya. Setiba di hadapan ayahnya dia menceritakan kejadian tersebut. Nabi Syuaib lalu meminta agar laki-laki yang menolongnya itu dipanggil. Setelah Musa menghadap Nabi Syuaib, salah seorang putrinya mengusulkan agar ayahnya mempekerjakan pemuda ini karena seorang yang kuat lagi jujur.

Nabi Syuaib memahami keinginan putrinya yang tersembunyi di balik usulnya. Sebagai seorang ayah yang bijaksana dan halus dalam memahami perasaan putrinya, Nabi Syuaib menyetujui usul putrinya. Beliau kemudian menawarkan kepada Musa untuk bekerja di tempatnya dengan imbalan dinikahkan dengan putrinya yang tertarik kepadanya. Akhirnya Musa menyetujui tawaran Nabi Syuaib untuk bekerja selama delapan tahun dan sesudah itu dia akan menjadi suami putri Nabi Syuaib yang menginginkannya.

Langkah yang ditempuh putri Nabi Syuaib ini merupakan langkah tepat untuk berkompromi dengan orang tuanya. Dengan langkah tersebut, keinginannya untuk mendapatkan laki-laki idamannya terpenuhi dan kehendak orang tua juga terlaksana karena calon yang diajukannya benar-benar sesuai dengan persyaratan agama.

Masyarakat dan syariat Islam memandang bahwa mengusulkan jodoh kepada orang tua sebagaimana yang dilakukan putrid Nabi Syuaib bukanlah langkah tercela. Langkah ini telah ditempuh oleh keluarga terhormat (keluarga Nabi Syuaib) sebagaimana diuraikan oleh Allah di dalam Alquran. Hal ini dimaksudkan memberi pelajaran bagi umat Islam bahwa mereka dapat menempuh langkah ini untuk mendapatkan jodoh. Anak perempuan yang menginginkan seorang laki-laki dapat mengusulkan kepada orang tuanya agar meminta lelaki yang bersangkutan menjadi suaminya. Demikian halnya anak laki-laki, ia bisa mengusulkan calon istri kepada orang tuanya.

Langkah mengusulkan jodoh kepada orang tua mencerminkan bahwa seorang anak tetap menghargai turut campurnya orang tua dalam memilihkan jodoh untuk dirinya. Langkah ini mengisyaratkan adanya hak anak untuk menentukan calon suami atau calon istrinya tanpa mengesampingkan orang tua. Dengan langkah ini, titik temu antara kepentingan orang tua dan anak dalam memilih jodoh dapat diperoleh. Adanya kemerdekaan atau kebebasan anak dan orang tua dalam menyatakan keinginan dan pendapatnya menghasilkan kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak. Hal ini memberi pelajaran kepada segenap orang tua muslim bahwa pendapat dan penilaian putra-putrinya dalam memilih jodoh harus dihargai.

Dalam mengusulkan jodoh kepada orang tuanya, anak harus memiliki persamaan pedoman dengan orang tua agar tercapai keinginannya. Keduanya harus ikhlas dan memiliki kesungguhan untuk mematuhi ketentuan agama untuk menghindari munculnya perselisihan yang menimbulkan permusuhan antara orang tua dan anak dalam usaha mendapatkan jodoh.

Sebaliknya, terhadap calon yang diusulkan anak, orang tua hendaknya melakukan pengenalan dan penelitian tentang akhlak dan kualitas keislamannya. Bila calon yang diajukan memenuhi syarat yang digariskan agama, tidak ada alasan bagi mereka untuk mempersulit atau menolaknya.

Ringkasnya, perempuan atau laki-laki, yang tidak menginginkan terjadinya konflik dengan orang tuanya saat memilih jodoh, dapat menempuh langkah seperti yang dilakukan oleh putri Nabi Syuaib

Kedua, Memilih Sendiri atau Menanti Pinangan

Abdurrahman bin Auf berkata kepada Ummu Hakim binti Qarizh, "Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?" Ia menjawab, "Baiklah." Ia berkata, "Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi." (HR Bukhari).

"… dan tidak berdosa kamu meminang wanita-wanita itu dengan sendirian atau kamu menyembunyikan (keinginan menikahi mereka) dalam hatimu …." (Al-Baqarah: 235).

Hadis di atas menerangkan bahwa Abdurrahman bin Auf, seorang sahabat Rasulullah saw. datang kepada Ummu Hakim, salah seorang perempuan sahabat Nabi saw. Kepada perempuan itu Abdurrahman bin Auf meminta untuk menyerahkan urusan mencari calon suami dan pernikahannya kepada dirinya. Ummu Hakim kemudian menyerahkan hal itu kepada Abdurrahman bin Auf. Abdurrahman pun mengatakan kepada Ummu Hakim bahwa dia sendiri yang menikahinya.

Hadis di atas menjelaskan bahwa Abdurrahman memilih sendiri Ummu Hakim sebagai istrinya dan tidak dijodohkan atau dipilihkan orang lain.

Seseorang yang ingin menikah dibenarkan oleh Islam mencari sendiri calonnya, bahkan boleh menikahkan dirinya sendiri kepada perempuan yang dinikahinya, seperti yang dilakukan oleh sahabat Abdurrahman bin Auf. Pernikahan seperti ini sah karena perbuatan Abdurrahman tidak pernah disalahkan oleh para sahabat atau Nabi saw.

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa seorang perempuan yang ingin menikah boleh berlaku pasif untuk mendapatkan jodohnya. Ia menanti pinangan seorang laki-laki yang datang bermaksud menjadikan dirinya sebagai istri.

Seorang perempuan yang menanti pinangan haruslah tetap menjaga ketentuan agama mengenai sifat laki-laki yang baik menjadi suami. Ini bertujuan supaya kelak ia tidak terjerumus ke dalam kehidupan rumah tangga yang merugikan dirinya. Ia tidak seharusnya tergesa-gesa menerima pinangan sebelum melakukan penelitian dengan baik dan melakukan istikharah serta minta pertimbangan kepada orang-orang yang jujur. Selain itu, dalam masa penantian, ia perlu berdoa dan melakukan ibadah sunah, seperti puasa Dawud, bersedekah, dan salat hajat agar diberi kemudahan oleh Allah dalam mendapatkan jodoh.

Islam membenarkan seseorang memilih sendiri calon suami atau calon istrinya. Cara ini sudah berjalan berabad-abad dan tetap dipertahankan oleh Islam sebagai tatanan yang benar. Sebaliknya, wanita dibenarkan menanti pinangan dari seorang laki-laki. Oleh karena itu, tidaklah tercela seorang perempuan bersikap pasif dalam mencari jodoh, karena hal tersebut juga tidak terlarang oleh Islam.

Ketiga, Menerima Pilihan Orang Tua

Dari Aisyah, ia berkata, "Telah datang seorang perempuan kepada Rasulullah saw., lalu berkata, 'Ya Rasulullah, ayah saya telah menikahkan saya dengan keponakannya agar dapat meringankan beban dirinya.' Maka, beliau menyerahkan urusan ini kepadanya. Perempuan itu lalu berkata, 'Saya benarkan apa yang dilakukan ayah saya, tetapi saya ingin agar kaum perempuan tahu bahwa para bapak tidak mempunyai hak sedikit pun dalam urusan ini'." (HR Ahmad).

Hadis di atas mengisahkan seorang ayah yang menjodohkan putrinya dengan lelaki pilihannya. Perempuan tersebut kemudian mengadukan kejadian itu kepada Rasulullah saw. Beliau akhirnya menyerahkan penyelesaian masalah itu kepadanya. Ia ternyata bersedia menerima lelaki pilihan orang tuanya untuk dijadikan suami. Tetapi, di hadapan orang banyak dia ingin menyatakan bahwa menjodohkan anak--seperti yang terjadi pada dirinya--bukan hak mutlak orang tua. Artinya, jika anak menolak, orang tua tidak boleh memaksa. Sikap ini dibenarkan oleh Rasulullah saw.

Kasus yang terdapat dalam hadis di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa salah satu langkah mendapatkan jodoh ialah menerima pilihan orang tua. Pernikahan seorang perempuan atau laki-laki dengan pasangan yang dipilihkan orang tuanya sah menurut Islam. Oleh karena itu, seorang perempuan atau laki-laki yang dipilihkan jodohnya oleh orang tua tidak perlu merasa hak-haknya diabaikan. Islam mengakui bahwa setiap orang bebas mendapatkan jodoh yang diinginkannya. Akan tetapi, ternyata yang bersangkutan tidak mampu mendapatkannya, sedangkan orang tua dapat mengusahakan, Islam membenarkan anak menerima pilihan orang tuanya.

Anak, perempuan atau laki-laki, yang dipilihkan jodohnya oleh orang tua hendaklah menanggapi secara baik. Jika calon tersebut memenuhi criteria dan syarat yang digariskan Islam, hendaklah ia lebih mengutamakan pilihan orang tua daripada menantikan yang tidak pasti. Pada awalnya mungkin sekali anak tidak tertarik kepada pilihan orang tua, namun ia bisa mengamati kelebihan calon pasangannya sebagai daya tariknya. Banyak anak, perempuan maupun laki-laki, lebih mementingkan pilihannya sendiri hanya karena pilihan orang tua sepintas dipandang kurang cocok di hatinya, bukan karena yang bersangkutan tidak memenuhi criteria dan syarat yang digariskan oleh Islam. Akibatnya, calon yang diharapkannya tidak kunjung muncul sehingga sangat terlambat baginya untuk berumah tangga.

Oleh karena itu, seseorang bisa mendapatkan jodoh dengan menerima pilihan orang tua. Selama calon yang diajukan oleh orang tua memenuhi criteria yang digariskan oleh Islam, anak sebaiknya mempertimbangkan pilihan tersebut dengan baik. Insya Allah, langkah ini akan membawa berkah baginya sehingga terhindar dari keterlambatan berumah tangga atau melajang seumur hidup.

Keempat, Menerima Tawaran

Dari Alqamah bin Qais , ia berkata, Saya pernah bersama Abdullah bin Mas'ud di Mina, lal ia pergi menyendiri bersama Utsman, kemudian aku duduk bersamanya, lalu Utsman berkata kepadanya, "Maukah engkau saya nikahkan dengan seorang budak perempuan yang masih gadis, supaya kelak dapat mengingatkan engkau mengenai beberapa peristiwa yang telah lalu?" Tatkala Utsman mengetahui bahwa Abdullah tidak mempunyai keinginan terhadap perempuan itu, ia lalu memberi isyarat dengan tangannya kepadaku, lalu aku datang kepadanya, kemudian ia berkata, "Kalau engkau memang mau menikahinya, sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda, 'Wahai para pemuda, siapa di antara kamu yang sanggup untuk menikah, hendaklah ia menikah, karena pernikahan itu lebih dekat memelihara pandangan dan memelihara kemaluan. Akan tetapi, barang siapa belum sanggup, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu merupakan pengebirian bagi dirinya'." (HR Ibnu Majah).

Hadis di atas mengisahkan salah seorang sahabat Rasulullah saw., Alqamah, yang ditawari Abdullah bin Mas'ud untuk menikah dengan seorang perempuan yang semula ditawarkan Utsman kepada Abdullah. Karena tidak berminat, Abdullah bin Mas'ud mengalihkannya kepada Alqamah.

Kisah tersebut memberi gambaran kepada kita bahwa menerima tawaran calon suami atau calon istri dari seseorang bukanlah tindakan yang tercela. Syariat Islam membenarkan langkah tersebut. Langkah ini boleh dilakukan setelah mendapat persetujuan dari orang yang ditawarkan atau tanpa sepengetahuannya. Bila upaya ini dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang ditawarkan, orang tersebut mempunyai hak untuk menolak atau menerima.

Di lingkungan kaum muslim pada masa sahabat, langkah ini tidak dianggap sebagai tindakan yang merendahkan martabat. Oleh karena itu, seseorang tidak perlu merasa direndahkan bila ada tawaran dari seseorang untuk menjadi istri atau suami sesama kaum muslim yang menaruh simpati kepadanya. Bahkan, mereka seharusnya berterima kasih atas tindakan tersebut. Mereka seharusnya menyadari bahwa hal ini menunjukkan adanya solidaritas dan rasa persaudaraan yang tinggi dalam masyarakatnya, sehingga masyarakat tidak membiarkan orang-orang yang sangat ingin hidup berumah tangga, melajang, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan di masyarakat.

Bila seorang laki-laki atau perempuan ditawari oleh orang lain untuk menikah dengan orang yang ditawarkan kepadanya, hendaklah dia memperhatikan akhlak, ketaatan ibadah, kejujuran, dan keikhlasan orang yang menawarinya. Ia tidak seharusnya mempercayai begitu saja orang yang menawarkan seseorang kepadanya untuk menjadi calon pasangannya, karena belum tentu yang bersangkutan mempunyai tujuan baik dan dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya. Boleh jadi orang yang memberi tawaran ini bermaksud hanya menutup rasa malu dirinya atau bertujuan menyengsarakan orang yang ditawari. Jadi, hendaklah ia benar-benar meneliti dengan saksama akhlak dan pribadi orang yang memberi tawaran dan juga calon yang ditawarkan.

Tegasnya, muslim atau muslimah yang ditawari seseorang untuk dijadikan istri atau suami, baik oleh teman, kerabat, maupun majikannya, hendaklah menyambut baik tawaran tersebut dan tidak menganggap sebagai penghinaan. Sekali lagi, Islam tidak menganggap hina hal tersebut, terbukti dilakukan dalam kehidupan kaum muslim pada masa para sahabat Nabi saw. Mereka adalah masyarakat muslim terbaik yang mendapat jaminan dari Allah untuk menjadi ahli surga.

Kelima, Minta Dicarikan

Rasulullah saw. bersabda kepada Ukaf bin Wida'ah al-Hilali, "Apakah engkau telah beristri, wahai Ukaf?" Ia menjawab, "Belum." Beliau bersabda, "Tidakkah engkau mempunyai budak perempuan?" Ia menjawab, "Tidak."
Beliau bersabda, "Bukankah engkau sehat lagi berkemampuan?"Ia menjawab, "Ya, alhamdulillah." Rasulullah saw. bersabda, "Kalau begitu, engkau termasuk teman setan, karena engkau mungkin termasuk pendeta nasrani. Hal itu berarti engkau masuk dalam golongan mereka, atau mungkin engkau termasuk golongan kami sehingga hendaklah kamu berbuat seperti yang menjadi kebiasaan kami, sedangkan kebiasaan kami adalah beristri. Orang yang paling durhaka di antara kamu adalah orang yang membujang; orang mati yang paling hina di antara kamu adalah orang yang membujang. Sungguh celakalah kamu, wahai Ukaf. Menikahlah!" Ukaf lalu berkata, "Wahai Rasulullah, aku tidak akan mau menikah sebelum engkau yang menikahkan aku dengan orang yang engkau sukai." Rasulullah saw. bersabda, "Kalau begitu, dengan nama Allah dan dengan berkah-Nya, aku nikahkan engkau dengan Kultsum al-Humairi." (HR Ibnu Atsir dan Ibnu Hajar).

Hadis tersebut mengisahkan kasus Ukaf, seorang pemuda yang tergolong cukup namun belum beristri, bahkan berniat membujang. Oleh Rasulullah, Ukaf ditegur dan diperintahkan untuk menikah. Beliau menyatakan bahwa membujang bertentangan dengan anjuran Islam. Setelah mendapat teguran dari Rasulullah, Ukaf kemudian mengatakan bahwa dia tidak akan menikah sebelum Rasulullah sendiri yang memilihkan jodoh untuknya. Hal ini mengisyaratkan bahwa Ukaf meminta pertolongan kepada Rasulullah untuk mencarikan istri bagi dirinya.

Dari kasus di atas kita memperoleh pelajaran bahwa bila seorang laki-laki atau perempuan tidak dapat mencari sendiri calon istri atau calon suaminya, ia dapat meminta bantuan orang lain untuk mencarikan jodohnya. Ukaf--dalam kasus ini--berterus terang meminta kepada Rasulullah untuk mencarikan jodoh baginya. Beliau kemudian mengabulkan permintaannya sehingga Ukaf akhirnya mendapatkan jodoh.

Seseorang mengalami kesulitan atau tidak mampu mencari jodoh sendiri seperti yang dialami Ukaf kemungkinan disebabkan beberapa hal.
1.      Ia merasa minder meminang perempuan karena pendidikannya rendah, miskin, atau wajahnya yang kurang tampan. Salah satu dari sebab-sebab ini membuatnya tidak berani meminta seorang perempuan untuk menjadi istrinya. Orang seperti ini dapat meminta bantuan orang ketiga yang dipercayainya untuk mencarikan jodoh baginya.
2.      Ia takut melamar perempuan untuk dijadikan istri karena perbedaan lingkungan budaya atau tradisi. Perbedaan tradisi atau budaya dikhawatirkan akan menjadi kendala dalam menciptakan pergaulan suami istri secara harmonis. Oleh karena itu, yang bersangkutan tidak berani melamar walaupun perempuan itu sangat dicintainya. Hal ini dapat diatasi dengan meminta orang ketiga untuk mencarikan jodoh yang mau menerima keadaan dirinya dan bersedia menyesuaikan diri dengan tradisi dan budayanya.
3.      Ia tidak punya kesempatan untuk memilih jodoh yang benar-benar baik karena sibuk bekerja. Bila hal ini yang menjadi penyebabnya, dia dapat meminta jasa orang ketiga untuk mencarikan jodoh yang diingkarinya. Cara ini memungkinkan dirinya mendapatkan orang yang hendak dijadikan istri atau suami tanpa membuang waktu kerjanya.
Alasan apa pun yang dikemukakan seseorang yang merasa dirinya sulit mendapatkan jodoh, sebenarnya dapat diatasi dengan langkah tersebut. Muslim atau muslimah tidak perlu merasa malu atau rendah diri meminta tolong kepada orang ketiga untuk mencarikan jodoh karena langkah ini telah dilakukan oleh sahabat Rasulullah, yaitu Ukaf. Sebagaimana Ukaf meminta Rasulullah mencarikan jodoh untuknya, siapa pun dapat melakukan hal yang sama, kapan dan di mana saja. Orang-orang yang dimintai tolong tersebut umumnya akan mengabulkan permintaan yang bersangkutan dengan gembira dan sukarela.
Orang ketiga yang dimintai mencarikan jodoh hendaklah yang dapat dipercaya. Mereka ini harus kita pilih yang akhlaknya baik, amanah, dan tahu persis siapa yang pantas menjadi calon bagi orang yang meminta jasa baiknya, serta memiliki pengaruh dalam lingkungannya sehingga yang diminta menjadi istri atau suami akan mempercayainya. Selain itu, dia harus orang yang cermat dalam engamati kepribadian orang lain agar terhindar dari kecerobohan, misalnya mempercayai orang yang tidak baik akhlak atau ketaatannya dalam beragama. Dia hendaknya juga memiliki pengalaman mencarikan jodoh bagi orang lain.
Biro-biro jodoh yang banyak bermunculan di tengah masyarakat sekarang ini belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kualitas kejujuran, kecermatan, akhlak, dan agamanya. Oleh karena itu, kita perlu meneliti biro-biro seperti ini terlebih dahulu, apakah akhlak dan agama pengurus dan orang yang ditawarkannya baik atau tidak. Kita sebaiknya tidak mudah percaya kepada propaganda mereka sebelum mengetahui betul bagaimana kualitas keislaman dan akhlaknya.
Ringkasnya, seorang laki-laki atau perempuan yang merasa sulit mencari jodohnya hendaklah tidak segan-segan meminta tolong kepada orang lain untuk mencarikannya. Insya Allah, dengan perantaraan orang lain, ia akan mendapatkan jodoh yang menjadi harapannya.
Allahu a’lam.