Lukisan Pesona-Nya


Disini...
Dijalan ini ku saksikan jutaan tetes air hujan dari langit
Pekat
Sepi
Pandangan di hadapan mata

Disini...
Dijalan ini ku saksikan jutaan tetes air hujan dari langit
Basah
Dingin
Menembus hingga tulang

Disini...
Dijalan ini ku saksikan jutaan tetes air hujan dari langit
Terpaku
Membisu
dalam kebekuan jiwa

Disini...
Dijalan ini ku saksikan jutaan tetes air hujan dari langit
Kelu
Payah
Melukiskan pesona ciptaan-Nya













Renungan: Menjadi Apapun Dirimu...


        
Menjadi karang-lah, meski tidak mudah
Sebab ia ‘kan menahan sengat binar mentari yang garang.
Sebab ia ‘kan kukuh halangi deru ombak yang kuat menerpa tanpa kenal lelah.
Sebab ia ‘kan melawan bayu yang keras menghembus dan menerpa dengan dingin yang coba membekukan.
Sebab ia ‘kan menahan hempas badai yang datang menggerus terus-menerus dan coba melemahkan keteguhannya.
Sebab ia ‘kan kokohkan diri agar tak mudah hancur dan terbawa arus.
Sebab ia ‘kan berdiri tegak berhari-hari, bertahun-tahun, berabad-abad, tanpa rasa jemu dan bosan.



Menjadi pohon-lah yang tinggi menjulang, meski itu tidak mudah
Sebab ia ‘kan tatap tegar bara mentari yang terus menyala setiap siangnya.
Sebab ia ‘kan meliuk halangi angin yang bertiup kasar.
Sebab ia ‘kan terus menjejak bumi hadapi gemuruh sang petir.
Sebab ia ‘kan hujamkan akar yang kuat untuk menopang.
Sebab ia ‘kan menahan gempita hujan yang coba merubuhkan.
Sebab ia ‘kan senantiasa berikan bebuahan yang manis dan mengenyangkan.
Sebab ia ‘kan berikan tempat bernaung bagi burung-burung yang singgah di dahannya.
Sebab ia ‘kan berikan tempat berlindung dengan rindang daun-daunnya.




Menjadi paus-lah, meski itu tak mudah
Sebab dengan sedikit kecipaknya, ia akan menggetarkan ujung samudera.
Sebab besar tubuhnya ‘kan menakutkan musuh yang coba mengganggu.
Sebab sikap diamnya akan membuat tenang laut dan seisinya.





Menjadi elang-lah, dengan segala kejantanannya, meski itu juga tidak mudah.
Sebab ia harus melayang tinggi menembus birunya langit.
Sebab ia harus melanglang buana untuk mengenal medannya.
Sebab ia harus melawan angin yang menerpa dari segala penjuru.
Sebab ia harus mengangkasa jauh tanpa takut jatuh.
Sebab ia harus kembali ke sarang dengan makanan di paruhnya.
Sebab ia harus menukik tajam mencengkeram mangsa.
Sebab ia harus menjelajah cakrawala dengan kepak sayap yang membentang gagah.


Menjadi melati-lah, meski tampak tak bermakna.
Sebab ia ‘kan tebar harum wewangian tanpa meminta balasan.
Sebab ia begitu putih, seolah tanpa cacat.
Sebab ia tak takut hadapi angin dengan mungil tubuhnya.
Sebab ia tak ragu hadapi hujan yang membuatnya basah.
Sebab ia tak pernah iri melihat mawar yang merekah segar.
Sebab ia tak pernah malu pada bunga matahari yang menjulang tinggi.
Sebab ia tak pernah rendah diri pada anggrek yang anggun.
Sebab ia tak pernah dengki pada tulip yang berwarna-warni.
Sebab ia tak gentar layu karena pahami hakikat hidupnya.


Menjadi mutiara-lah, meski itu tidak mudah

Sebab ia berada di dasar samudera yang dalam.
Sebab ia begitu sulit dijangkau oleh tangan-tangan manusia.
Sebab ia begitu berharga.
Sebab ia begitu indah dipandang mata.
Sebab ia tetap bersinar meski tenggelam di kubangan yang hitam.







Menjadi kupu-kupulah, meski itu tak mudah pula.
Sebab ia harus melewati proses-proses sulit sebelum dirinya saat ini.
Sebab ia lalui semedi panjang tanpa rasa bosan.
Sebab ia bersembunyi dan menahan diri dari segala yang menyenangkan, hingga kemudian tiba saat untuk keluar.






Karang akan hadapi hujan, terik sinar mentari, badai, juga gelombang.
Elang akan menembus lapis langit, mengangkasa jauh, melayang tinggi dan tak pernah lelah untuk terus mengembara dengan bentangan sayapnya.
Paus akan menggetarkan samudera hanya dengan sedikit gerakan.
Pohon akan hadapi petir, deras hujan, silau matahari, namun selalu berusaha menaungi.
Melati ikhlas ‘tuk selalu menerima keadaannya, meski tak terhitung pula bunga-bunga lain dengan segala kecantikannya.
Kupu-kupu berusaha bertahan, meski saat-saat diam adalah kejenuhan.
Mutiara tak memudar kelam, meski pekat lingkungan mengepungnya di kiri-kanan, depan dan belakang.

Tapi karang menjadi kokoh dengan segala ujian.
Elang menjadi tangguh, tak hiraukan lelah tatkala terbang melintasi bermilyar kilo bentang cakrawala.
Paus menjadi kuat dengan besar tubuhnya dalam luas samudera.
Pohon tetap menjadi naungan meski ia hadapi beribu gangguan.
Melati menjadi bijak dengan dada yang lapang, dan justru terlihat indah dengan segala kesederhanaan.
Mutiara tetap bersinar dimanapun ia terletak, dimanapun ia berada.
Kupu-kupu hadapi cerah dunia meskipun lalui perjuangan panjang dalam kesendirian.
Menjadi apapun dirimu…, bersyukurlah selalu.
Sebab kau yang paling tahu siapa dirimu.
Sebab kau yakini kekuatanmu.
Sebab kau sadari kelemahanmu.
Jadilah karang yang kokoh,
elang yang perkasa,
paus yang besar,
pohon yang menjulang dengan akar menghujam,
melati yang senantiasa mewangi,
mutiara yang indah,
kupu-kupu, atau apapun yang kau mau.
Tapi, tetaplah sadari kehambaanmu
Sadarilah amanah yang kau emban…………

Menyadari Hakikat Keberadaan Kita di Sini!!!



Ketika Ia Menyatakan Ingin Keluar

Sebuah Dialog Selepas Malam "Akh, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam da'wah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh."Begitu keluh kesah seorang mad'u kepada seorang murobbinya di suatu malam. Sang murobbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya. "lalu apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu ? " sahut sang murobbi setelah sesaat termenung.

" Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan prilaku beberapa ikhwah yang justru tidak Islami. Juga dengan organisasi dakwah yang Ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, Ana mendingan sendiri saja." Jawab mad'u itu. Sang murobbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman di wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal. " Akhi, bila suatu kali antumnaik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah sangat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?". Tanya sang murobbi dengan kiasan bermakna dalam. Sang mad'u terdiam dan berfikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat. " Apakah antum memilih untuk terjun kelaut dan berenang sampai tujuan?". Sang murobi mencoba memberi opsi."Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasa kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba . tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan?. Bagaimana bila ikan hiu datang. Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimanan antum mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan dihamparkan dihadapan sang mad'u.Tak ayal, sang mad'u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian.

Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murobbi yang dihormati justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya. "Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah? " Bagaimana bila ternyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu ternyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak dijalan, atau mencoba memperbaikinya? . Tanya sang murobbi lagi.Sang mad'u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya:"Cukup akhi, cukup. Ana sadar.. maafkan Ana…. ana akan tetap Istiqomah. Ana berdakwah bukan untuk mendapatkan medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan… " .


Biarlah yang lain dengan urusan pribadinya masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji- Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan menjadi pelebur dosa-dosa ana". Sang mad'u berazzam dihadapan sang murobbi yang semakin dihormatinya.Sang murobbi tersenyum "Akhi, jama'ah ini adalah jamaah manusia.

Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi dibalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah.""Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka dimata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka.

""Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu, maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar."Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da'i. kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah.

"Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil.tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!""Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman.

Bila ada isyu atau gosip tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya. "Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraaan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad'u bergegas mengambil wudhu untuk berqiyamu lail. Malam itu. Sang mad'u sibuk membangunkan mad'u yang lain dari asyik tidurnya.Malam itu sang mad'u menyadari kesalahannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya.


Dekap dan Tahanlah Ia Yang Hendak Pergi


Dalam buku “Yang Berjatuhan Di Jalan Dakwah”, Ustadz Fathi Yakan menjelaskan:  Sebagian orang beranggapan bahwa berguguran di jalan dakwah merupakan fenomena wajar. Anggapan ini jelas tidak benar. Sebab, dampak yang ditimbulkan tidaklah baik. Berapa banyak orang yang tidak meninggalkan dakwahnya, kecuali setelah menimbulkan berbagai kerusakan. Berapa banyak dari mereka yang keluar dari dakwah, lalu berbalik memusuhinya, atau bersekongkol dengan musuh untuk melawannya. Sedikit sekali orang berguguran yang meninggalkan dakwah dengan tenang, tanpa membuat kericuhan.

“Silahkan akhi….silahkan ukhti….”, jawab seorang ikhwah ketika mendengar sepotong kalimat terlontar dari seorang ikhwah lain “Aku ingin keluar dari jamaah ini!”.  Beberapa dari kita mempersilahkankepergian saudara dari barisan ini dengan sikap biasa-biasa. Sikap yang lahir dari pemahaman bahwahal ini merupakan sunnah dakwah, bahwa akan selalu lahir ikhwah-ikhwah baru, mujahid-mujahid baru,bahwa Islam akan tetap terpelihara sehingga tidakpantas barisan ini merengek-rengek demi menahankepergian seseorang, bahwa seleksi alamiah berlakuuntuk membersihkan orang-orang yang barangkali memang kurang pantas mengemban amanah ini. Sikap ini tidak salah, banyak yang menerapkan dengan apa adanya, maka akhirnya tidak sedikitlah yang benar-benar mundur dari barisan ini.

Saat kita bersemangat, memiliki level iman yang stabil atau sedikit lebih baik, kita seolah-olah melihat saudara kita pun seperti kita. Menerapkan standar stabilitas keimanan kita kepada saudara-saudara kita, atau bahkan adik (ikhwah baru) kita. Maka, ketika kondisi saudara kita tidak stabil, sedang mengalami fluktuasi iman, futur, kita pun menganggapnya sebagai kader manja. Kitamelihatnya dengan perspektif berbeda dengan apa yang dirasakannya atau yang dibutuhkannya. Kita yangstabil memaksa agar ia bisa survival bertahan digaris keimanan. Sehingga kita tidak merasa terlaluperlu untuk memberinya nasihat, ataumotivasi-motivasi keimanan. Sementara betapa ia butuh sentuhan-sentuhan perhatian kita.

Kita berpikir bahwa suatu saat, kita akan hidupsendiri tanpa seorang ikhwah yang menemani di suatudaerah. Sehingga kita mengira bahwa kita harus bersiap-siap untuk hal tersebut. Maka ketika adaseorang yang futur, kita bersikap seolah-olah tidakpeduli padanya. Dan ketika dia benar-benarmengucapkan,” selamat tinggal”, kita menyalahkannya atas kelemahannya. Kita menyelamatkan diri atas kesalahan dari futurnya  audara, dengan hiburan-hiburan bahwa ini adalah sunatuddakwah.

Tidak sedikit kisah-kisah futurnya ikhwah daribarisan ini setelah tarbiyah bertahun-tahun. Bukan hal yang mengejutkan memang, ulama bahkan ada yangmurtad, berganti haluan, ustadz pun ada yang terjatuh, saat tergiur dengan indahnya dunia. Kehilangan seorang yang telah memiliki kepahaman dan mobilitas dakwah yang tinggi, apakah bisa diganti dengan masuknya 50 orang baru dalam barisan ini,tanpa kepahaman dan aksi dakwah yang mapan?Lepasnya seorang kader produktif apakah bisa ditutupi dengan hiburan bahwa 50 baru orang yang baru-baru mengikuti daurah tahap awal, dengan produktifitas dakwah yang masih nol?

Saudaraku, apakah orang yang baru tarbiyah 1 atau 5 tahun telah bisa menyamai kepribadian Ka’ab bin Malik ra?Nilai keimanan memang tidak bisa diukur dengan lamanya tarbiyah, namun kita bisa melihatsecara umum bagaimana kondisi keimanannya dengan parameter usia interaksinya dengan dakwah. Apakahkita akan menyikapi seorang yang baru setahun liqodengan sikapnya Musa As. kepada Harun As. Saat beliau menarik jenggot saudaranya?Atau kita mencobamengikuti marahnya Abu Bakar ra. Kepada Umar ra yangmemilih jalur ‘lembut’ dalam menyikapi Musailamah dan orang-orang yang menolak zakat?Sekeras itukahkita berperilaku terhadap seorang ikhwah. Dimana senyummu saat pertama bertemu bersama dalam dakwah ini, dimana pelukmu seperti kepada adik-adikmu yangbaru masuk dalam aksi tarbiyah?

Kunjungilah saudaramu, ketika lama ia tidak menyapamu, smslah ia saat sang adik tidak pernah muncul-muncul dalam pertemuan keimanan. Datangilah mereka yang lemah, mereka yang manja, tularkanpetuah-petuah juangmu. Apakah benar sudah saatnya mereka survival dalam menjaga stablitas keimanananya? Tidak, tidak ya akhi, cukuplah derai airmata ini, cukuplah kesedihan hilangnya seorang ikhwah ‘berhenti’ sampai disini, dekaplah dantahanlah mereka yang hendak pergi.



Kuntum bunga boleh layu, namun rekahnya bunga-bunga mujahid harus terjaga tetap hadir di sebuah kebun…


Dunia ibarat sebuah terminal

Hanya tempat persinggahan

Bersabarlah hadapi ujian

Tak kan lama kan tinggal …


 ***

Dari berbagai sumber

Renungan bagi diri pribadi setelah diskusi kecil dengan sang adik beberapa waktu lalu dan dari diskusi dengan teman sejawat pagi tadi di salah satu pojok rumah sakit membahas fenomena ikhwah yang futur di jalan dakwah…

UKHTI, KATAKAN: INILAH JALANKU!!!




“Nak, Ummi sekolah dulu ya.” Itulah kata-kata yang tidak asing kami dengarkan ketika seorang ummahat sedang memberikan pengertian kepada anak mereka sebelum meninggalkan anak-anak mereka bersama kami, para hadonah di sebuah ruangan khusus. 

Mereka bukanlah wanita biasa. Merekalah para mujahidah sejati, pendamping mujahid dakwah yang secara sadar dan meyakini dengan sepenuh hati bahwa dakwah ini adalah sebuah kewajiban yang tidak hanya diperuntukkan untuk sebagian kaum saja (laki-laki) melainkan juga dibebankan pada diri mereka tanpa meninggalkan kewajiban mereka yang lain, mengurus rumah tangga serta mendidik anak-anak mereka.

Bagi mereka, rumah tangga bukanlah halangan untuk tetap eksis dalam aktivitas dakwah. Waktu mereka tidaklah lebih banyak namun mereka memilih untuk lebih sedikit beristirahat dan kemudian melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka. Setiap harinya mereka berjibaku dengan aktivitas mereka seorang istri. Mempersiapkan segala kebutuhan suami dan anak-anak mereka. Tidak sedikit diantara mereka yang juga bekerja demi membantu menopang perekonomian rumah tangga mereka. Bukan karena merasa kurang dengan nafkah yang diberikan suami, karena banyak dari mereka adalah istri yang qonaah dan santun, mereka cerdas mengolah keuangan rumah tangga baik ketika rezeki melimpah maupun ketika paceklik melanda rumah tangga mereka.

Mereka memahami bahwa tugas berat mereka adalah menghadirkan atmosfer jihad dalam rumah tangga mereka, membentuk keluarga mujahid. Sebagai istri, mereka senantiasa meniupkan semangat dakwah itu kepada sang suami. Ikhwan sekaliber Syaikh Hasan Al-Hudhaibi, keistiqomahannya dalam dakwah tidak lepas dari peran dan keistiqomahan istri yang mendampinginya, Sayidah Ni’mah Ummu Usamah. Komitmen sang istri terhadap dakwah Ilallah sangatlah tinggi tanpa pernah meninggalkan kewajibannya dalam menjaga kemuliaan sang suami. Saat mengantar suami keluar rumah, beliau mengenakan pakaian seindah mungkin dan berdandan layaknya pengantin baru. Hal yang sama beliau lakukan saat menyambut kepulangan sang suami.  Kata-kata semangat selalu mengiringi kepergian suami dan beliau selalu menghadiahkan senyum saat suami tiba dirumah.

Hingga sampai suatu ketika, saat istri seorang menteri datang menjenguk dan bermaksud menghibur Ummu Usamah dan anak-anaknya ketika Syaikh Hasan Al-Hudhaibi dipenjara. Istri menteri tersebut menjelaskan bahwa suaminya tengah mengusahakan agar suami beliau terhindar dari perlakuan tidak baik selama dipenjara. Ummu Usamah berkata dengan tegas, “Sungguh, suamiku telah menjual dirinya untuk Allah dan kami juga menjual diri kami untuk Allah. Bila semua itu terjadi (hukuman mati dijatuhkan) karena takdir Allah maka tidak ada seorangpun akan melihat kami, kecuali dalam ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan, sebab kami serahkan sepenuhnya kepada Allah, kami mengharapkan pahalan_Nya dan kami sangat berbahagia bila dapat menyusulnya sebagai syuhada…” usai berbicara seperti itu, Ummu Usamah menengok kepada ketiga putrinya, “Itu pendapatku, bagaimana pendapat kalian anak-anakku? ” Serempak ketika putrinya menjawab, “Pendapat kami sama dengan pendapatmu, wahai Ibu.”  
 
Semangat bergelora serupa juga dimiliki seorang ibu di Palestina. Dengan lantang ia berkata ”Mereka mengira kami akan gentar dengan sikap buas mereka kepada anak-anak kami. Dengarlah kami akan melahirkan lebih banyak mujahid untuk kami didik menjadi tentara Allah!”  Ia berkata seperti itu setelah melihat anaknya yang masih kecil tertembak mati oleh tentara Yahudi Laknatullah.

Dalam sebuah agenda siyasih, seorang Ustadzah memberikan tausiyah, “Ibu-Ibu, kita harus berkontribusi untuk memenangkan dakwah ini. Kita harus mendorong para suami untuk terlibat dalam agenda siyasih ini. Jangan sampai kita tenang-tenang saja melihat suami kita hanya berdiam diri dirumah sedangkan ikhwan lain sedang bergelut dengan kesibukan dakwah. Jangan sampai baru pukul sepuluh malam, kita sudah sibuk mengotak-atik HP, mengSMS suami untuk pulang padahal kita tahu kesibukan dakwah diluar sana sangat banyak. Atau jangan sampai ketika suami pulang rumah, kita memasang wajah cemberut. Justru seharusnya kita tanyakan “Bi…jam segini koq uda pulang? Apa masang spanduknya uda selesai?”

Disinilah letak perbedaan seorang ummahat dalam sebuah rumah tangga terbina dengan rumah tangga pada umumnya, bahwa disaat mereka sedang berkutat dengan permasalahan dapur, kontrakan rumah, pendidikan dan kesehatan anak, serta permasalahan keluarga lainnya, maka seorang ummahat yang tarbiyah tidak hanya akan mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada permasalahan itu semata melainkan menjadikan permasalahan dakwah juga adalah bagian dari dirinya. Ia menjadikan semua itu sebagai sarana latihan untuk menjelang momentum pengorbanan yang sesungguhnya. Diri, suami dan anak-anaknya dipersembahkannya untuk Allah. Semua ia lakukan karena ia menyakini bahwa janji Allah adalah pasti bagi orang-orang beriman dan Allah tidak pernah menyalahi janji. Kebahagiaan dan keberkahan dalam kehidupan keluarga diperoleh didunia maupun  akhirat. Kelak di ujung jalan panjang ini, Allah akan menghimpun diri dan keluarganya kembali di Jannah-Nya yang kekal.

Seperti keyakinan seorang akhwat, Aminah Quthub atas janji Allah untuk pertemuan dirinya kembali dengan sang suami di firdaus-Nya. Keyakinan itu tersirat dalam syair yang beliau buat saat kematian sang suami:

Aku tidak menunggu kepulangan dan janji-janji senja
Aku tidak menunggu kereta akan kembali membawa secercah harapan
Kau tinggalkan aku mengarungi hari-hari dalam kebisuan derita
Kau lihatkah rinduku untuk surga atau cinta kelangitan
Kau lihatkah janji itu untuk Allah
Sudah tibakah saat pemenuhannya?
Aku berlalu bagai perindu
Sebagai pemabuk yang cinta mendengarkan panggilan
Kau jumpaikah di sana para kekasih
Apa warna pertemuan itu?
Dalam hijaunya surga, dalam firdaus dan gemuruh karunia
Di negeri kebenaran kalian berkumpul
Dalam damai dan perlindungan
Jika memang karena itu, selamat datang kematian berlumur darah
Akankah ku menemuimu disana, tinggalkan negeri derita
Ya, kan kutemui kau di sana
Janji yang diyakini orang-orang yang jujur
Kita dapatkan balasan atas hari-hari yang kita lalui
Dalam derita dan cobaan
Kita kan di jaga dalam kebaikan
Tanpa takut akan perpisahan dan kefanaan.
***

Ukhti, Katakan: Inilah jalanku!!! Orientasi dakwah ini haruslah tertanam pada diri seorang muslimah.  Menyadari kita bukanlah orang yang hebat, yang senantiasa tegar dan teguh dalam permasalahan yang menghampiri, untuk itulah tarbiyah sangat penting untuk mampu menjaga orientasi ini. Tidak hanya untuk para ummahat namun juga untuk semua akhwat harus dipersiapkan melalui kegiatan tarbiyah yang terprogram untuk menjadikan diri mereka sebagai pelaku dakwah, pelaku pembangunan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan tanpa menafikan peran laki-laki dalam pembinaan keluarga. Sehingga keluarga yang terbentuk adalah keluarga yang berkhidmat kepada Islam.  
So Ukhti, sudahkah kita mempersiapkan diri kita menjadi seperti mereka, para Ummahat tangguh???

Allahu ‘alam bi showab
Semoga bermanfaat terutama bagi diri pribadi dan pembaca

Samarinda, 23 Oktober 2011

Ditulis dengan penuh keimanan dan harapan setelah menjalankan tugas sebagai hadonah ^^

*hadonah: akhwat yang bertugas mengasuh anak-anak kader yang sedang mengikuti acara dakwah 
*Ummahat: akhwat yang telah berumah tangga.

Surat Seorang Sahabat Dakwah





Assalamualaykum wr.wb.

Kepada saudaraku yang ana cintai karena Allah. Tak terasa kita telah sampai di ujung perjuangan kita di sini, departemen yang ana cintai dan bidang yang pertama kali ana masuki ketika ana berorganisasi. Pertama ana sadar saudaraku bahwa ana bukanlah orang yang sempurna. Ana sadar ana banyak memiliki kekurangan bahkan sering mengabaikan tugas yang diamanahkan kepada ana. Karena itu dengan kerendahan diri dan ketulusan hati yang paling dalam ana mohon maaf atas itu semua.

Saudaraku, ana sadar suatu saat ana akan merindukan syuro-syuro kita, canda, kekecewaan dan keseriusanmu. Ana akan sangat menginginkan suasana itu kembali. Karena itu saudaraku, ana berdoa agar suatu saat kita berjumpa kembali untuk mengenang masa indah perjuangan kita baik itu ketika kita diberi hidup maupun nanti ketika telah berada di syurganya Allah (insya Allah).

Saudaraku, ana begitu mencintai dakwah dan perjuangan maka doakan ana tetap istiqomah bersamanya dan ana juga berdoa agar kau istiqomah bersamanya. Ana teringat ketika seorang sahabat berdoa, “Ya Allah, jadikanlah hamba termasuk orang-orang yang sedikit” dan sahabat yang lain bertanya “kenapa kau berdoa seperti itu?” Beliau menjawab “sesungguhnya perjuangan agama ini begitu sulit dan hanya sedikit yang akan mampu bertahan di dalamnya.” Karena itu hari ini ana berdoa semoga kita termasuk yang sedikit itu.

Sesungguhnya kebahagiaan terbesar adalah ketika ana bisa bersamamu, ketika Allah menyatukan hati-hati kita dalam nuansa ukhuwah dalam persaudaraan Islam. Dan hari ini ana telah menganggapmu saudara dan ana harap hal yang sama terhadap ana.

Saudaraku, diakhir kepengurusan ini, ana mohon lihatlah wajah ana sekali lagi. Jangan lupakan ana dan ana mohon ceritakanlah kepada anak-anak dan keluargamu, tentang perjuangan kita, tentang arti sebuah persaudaraan yang berlandaskan iman dan taqwa, tentang air mata yang tertumpah dalam perjuangan.

Saudaraku, terakhir ana ingin menegaskan kembali bahwa ana mencintaimu karena Allah maka ingatkan ana ketika ana tergelincir dan doakan ana dalam setiap solatmu.

Dan terakhir inilah harapanku untukmu:
Saudaraku, bersamamu adalah semangat bagiku
Bersamamu adalah kenangan paling indah bagiku
Ana mencintaimu karena Allah maka cintailah ana karena Allah
Saudaraku, tawamu adalah bahagiaku dan dukamu adalah luka bagiku
Semoga persaudaraan ini kekal dan kita dipertemukannya dalam syurga
Semoga perjuangan ini menjadi ruh bagi kita dan kita tetap istiqomah di jalan-Nya.

Wassalamualaykum wr wb.


Mengenang detik-detik terakhir kepengurusan departemen kaderisasi PUSDIMA.
Teriring doa untuk seluruh sahabat..semoga Allah meneguhkan pijakan kaki-kaki ini di jalan dakwah...

Epilog Rindu




Maha Suci Engkau ya Robb yg telah menjanjikan pertemuan dengan diri-NYA pada hari yg ditentukan kelak!!!

Para pecinta Berbondong-bondong mempersiapkan diri untuk pertemuan itu.

Selayaknya keinginan berjumpa dengan Seorang kekasih yg amat dirindukan,
mereka sangat tidak sabar menanti hari itu.

Hati mereka penuh dengan kerinduan yg menggebu.

Hari-hari yang mereka lalui tidak lebih hanya bagian dari persiapan menuju perjumpaan dengan kekasih abadi mereka,Allah Swt.

Keinginannya untuk memberikan cinta pun kian tak terbendung,
sampai-sampai tubuh mereka lelah mengikutinya.

'Bila keinginan itu besar maka tubuh itupun payah dalam meraihnya' begitu ungkapan seorang penyair.

Begitulah semua berjalan sampai pertemuan yang dijanjikan telah datang.

Lunaslah hutang rindunya pada Sang Kekasih,justru rasa malu terus bertambah.

Kekasih yang dicintai justru lebih cinta dan lebih rindu daripada kecintaan dan kerinduannya...