Tahun ini, pemerintah Indonesia secara resmi menetapkan bahwa hari
raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1431 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 17
November 2010 Masehi, berbeda dengan pemerintah Arab Saudi yang
menetapkan bahwa hari raya yang juga disebut hari haji akbar
itu jatuh pada sehari sebelumnya, bertepatan 16 November 2010. Ini
berarti bahwa jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah pada tanggal 15
November 2010.
Dari sinilah kemudian muncul pertanyaan, kapan kita yang berada di
Indonesia ini berpuasa Arafah dan berhari raya kurban? Apakah tetap
mengikuti pemerintah kita atau mengikuti Arab Saudi? Dan apakah
memungkinkan kalau puasa Arafahnya mengikuti waktu wukufnya jama’ah
haji, sementara idul adhanya mengikuti pemerintah?
Kami akan menyebutkan dua pendapat yang pernah dijelaskan oleh para ulama, yaitu:
Pendapat pertama: puasa Arafah dan idul adha tetap mengikuti pemerintah walaupun berbeda dengan negara Arab Saudi
Ini adalah pendapat yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah.
Beliau pernah ditanya oleh para pekerja yang bertugas di kedutaan Arab
Saudi (di negara lain), ketika mereka menghadapi masalah terkait
dengan puasa Ramadhan dan puasa Arafah. Mereka tepecah menjadi tiga
kelompok:
Kelompok pertama mengatakan: “Kami akan berpuasa dan berbuka mengikuti kerajaan Arab Saudi”.
Kelompok kedua mengatakan: “Kami berbuka dan berpuasa mengikuti negara yang kami bertugas di sana.”
Dan kelompok ketiga mengatakan: “Kami
akan berpuasa Ramadhan sesuai dengan negara tempat kami bertugas, namun
untuk puasa Arafah, kami mengikuti kerajaan Arab Saudi.”
Maka beliau menjawab:
Para ulama rahimahumullah berbeda pendapat, apakah jika hilal telah tampak di suatu negeri,
- Kemudian mengharuskan kaum muslimin di seluruh negeri untuk mengikuti negeri tersebut,
- ataukah kewajiban itu hanya bagi yang melihat hilal saja dan juga bagi negeri yang satu mathla’ dengannya,
- atau kewajiban itu juga berlaku bagi yang melihat hilal dan siapa saja yang berada di pemerintahan (negara) yang sama.
Dalam permasalahan ini terdapat beberapa pendapat,
Yang rajih (kuat) adalah bahwasannya permasalahan ini dikembalikan kepada ahlul ma’rifah.
Jika dua negeri berada dalam satu mathla’ yang sama, maka keduanya
terhitung seperti satu negeri, sehingga jika di salah satu negeri
tersebut sudah terlihat hilal, maka hukum ini juga berlaku bagi negeri
yang satunya tadi.
Adapun jika dua negeri tadi tidak berada pada satu mathla’, maka
setiap negeri memiliki hukum tersendiri. Ini adalah pendapat yang
dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala. Dan inilah yang sesuai dengan zhahir Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta qiyas.
Dalil dari Al-Qur’an:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ
الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللَّهَ عَلَى مَا
هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,
dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [Al-Baqarah: 185]
Dipahami dari ayat ini adalah barangsiapa yang tidak melihat maka tidak diwajibkan baginya berpuasa.
Adapun dalil dari As-Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
إذا رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا
“Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka berpuasalah, dan
apabila melihat hilal (syawwal), maka berbukalah (beridul fithrilah.”
Dipahami dari hadits ini adalah jika kita tidak melihat hilal, maka tidak wajib berpuasa ataupun berbuka (beridul fithri).
Adapun dalil qiyas adalah:
Karena waktu mulainya berpuasa dan berbuka itu hanya berlaku untuk
negeri itu sendiri dan negeri lain yang waktu terbit dan tenggelamnya
matahari adalah sama. Ini adalah hal yang telah disepakati, sehingga
anda saksikan bahwa kaum muslimin di Asia sebelah timur mulai berpuasa
sebelum kaum muslimin yang berada di sebelah baratnya, demikian pula
dengan waktu berbukanya. Hal ini terjadi karena fajar di belahan bumi
timur terbit lebih dahulu daripada di belahan barat, begitu juga dengan
tenggelamnya matahari. Jika perbedaan seperti ini bisa terjadi pada
waktu mulainya berpuasa dan berbuka yang itu terjadi setiap hari, maka
demikian juga hal itu bisa terjadi pada waktu mulainya berpuasa di awal
bulan dan waktu mulainya berhari raya. Tidak ada bedanya antara
keduanya.
Namun jika ada dua negeri yang berada dalam satu pemerintahan, dan
pemerintah negeri tersebut telah memerintahkan untuk berpuasa atau
berbuka (berhari raya), maka wajib mengikuti perintah (keputusan) pemerintah tersebut. Masalah seperti ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan pemerintahlah yang akan menyelesaikan perselisihan yang ada.
Berdasarkan ini semua, hendaklah kalian berpuasa dan berbuka
(berhari raya) sebagaimana puasa dan berbuka (berhari raya) yang
dilakukan di negeri kalian berada (yaitu mengikuti keputusan pemerintah).
Sama saja apakah keputusan ini sesuai dengan negeri asal kalian atau
berbeda. Begitu juga dengan hari (puasa) Arafah, hendaklah kalian
mengikuti negeri yang kalian berada di sana.
Pada kesempatan yang lain, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala juga ditanya:
“Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah dari negeri-negeri yang berbeda disebabkan perbedaan mathla’, apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami berada padanya, ataukah mengikuti ru’yah Haramain (Arab Saudi)?”
Beliau menjawab:
“Permasalahan ini dibangun (muncul) dari perbedaan pendapat di
kalangan ulama, apakah munculnya hilal (di suatu daerah) itu berlaku
untuk seluruh dunia, ataukah berbeda-beda tergantung perbedaan
mathla’nya.
Pendapat yang benar adalah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan mathla’nya.
Misalnya di Makkah terlihat hilal tanggal 9 Dzulhijjah, namun di negari
lain, hilal tersebut sudah terlihat sehari sebelumnya, sehingga hari
Arafah (di Makkah) menurut negeri itu adalah sudah memasuki tanggal 10
Dzulhijjah. Maka tidak boleh bagi penduduk negeri tersebut untuk
berpuasa pada hari itu, karena hari itu adalah hari ‘Idul Adha.
Demikian juga jika munculnya hilal Dzulhijjah di negeri itu sehari
setelah ru’yatul hilal di Makkah, maka tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah
itu adalah bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah di negeri tersebut.
Sehingga penduduk negeri tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9
Dzulhijjah menurut mereka, yang bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah
di Mekkah.
Inilah pendapat yang kuat dalam permasalahan ini, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
“Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) hendaklah kalian berpuasa,
dan jika kalian melihat hilal (Syawwal) hendaknya kalian berbuka
(berhari raya).”
Penduduk di daerah yang tidak tampak oleh mereka hilal, maka mereka bukan termasuk orang yang melihatnya.
Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar dan
tenggelamnya matahari itu sesuai (mengikuti) daerahnya masing-masing
yang berbeda-beda, maka demikian juga penetapan (awal) bulan itu,
sebagaimana penetapan waktu harian (mengikuti daerahnya masing-masing).”
Pendapat kedua: puasa Arafah mengikuti Arab Saudi, namun idul adha mengikuti pemerintah
Ini sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Utsman bin ‘Abdillah As-Salimi hafizhahullah, salah seorang ulama besar di Yaman, dan termasuk murid senior Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimauhllah. Dalam salah satu pelajaran yang disampaikan ba’da zhuhur tanggal 3 Dzulhijjah yang lalu, beliau ditanya:
Apakah kita beridul Adha (yakni mulai menyembelih hewan kurban)
dengan mengikuti Arab Saudi, sementara kami di Maroko, meskipun hal ini
menyelisihi dan mendahului waliyul amr (pemerintah), dan hal ini juga bisa menimbulkan fitnah sebagaimana yang anda ketahui?
Maka beliau menjawab:
Idul Adha wajib atas seluruh kaum muslimin untuk mengikuti negeri Al-Haramain (Arab Saudi),
karena pelaksanaan ibadah haji berada di sana, sehingga yang dijadikan
patokan adalah pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah (sesuai dengan
yang di Arab Saudi), maka hendaknya kalian melaksanakan puasa
hari Arafah ketika di negara Arab Saudi juga berpuasa, yaitu ketika
para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah.
Adapun waliyul amr (pemerintah), baik di Maroko maupun
negeri yang lain, tidak boleh bagi mereka untuk menyelisihi umat Islam
(yang berpatokan pada pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah di Saudi
tersebut).
Namun apabila kalian khawatir terjadinya fitnah, jika kalian sanggup, maka hendaknya kalian menyembelih hewan kurban pada hari nahr secara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak mampu, maka pada hari keduanya tidak mengapa. Hari-hari penyembelihan itu banyak, yaitu hari nahr
(10 Dzulhijjah), tanggal 11, tanggal 12, dan menurut pendapat yang
benar adalah juga tanggal 13 sebagaimana yang dikatakan Asy-Syafi’i dan
sekelompok ulama yang lain.
Sehingga kalian boleh memilih, tidak mengapa bagi kalian untuk
mengakhirkan dan mengikuti negeri kalian dalam menyembelih hewan kurban
jika khawatir timbul fitnah. Wabillahit taufiq.
Akan tetapi hendaknya kalian tetap merasa bahwa hari Id (yang benar)
adalah bersama dengan negeri Saudi Arabia. Semoga Allah memberikan
taufik kepada kalian.
Adapun untuk shalat id, maka dilakukan pada hari kedua (dari hari nahr, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah) selama di negeri tersebut semuanya melaksanakan id bersama dengan pemerintah setempat, sehingga jika khawatir terjadi fitnah, maka boleh mengakhirkan shalat id pada hari kedua.
Kesimpulan
Kaum muslimin di Indonesia -sebagaimana yang telah diumumkan sendiri
oleh pemerintah-, diberi keleluasaan untuk memilih waktu puasa Arafah
dan hari Id-nya, silakan mengikuti pemerintah atau boleh juga mengikuti
Arab Saudi. Dari keterangan para ulama di atas, maka Insya Allah tidak
mengapa bagi setiap muslim di negeri ini untuk menentukan waktu puasa
dan hari rayanya sesuai dengan pendapat yang menurut dia lebih tepat
(tentunya dalam memilih pendapatnya itu harus dengan didasari oleh
ilmu, tanpa ada sikap taqlid, apalagi memilih pendapat yang sesuai
dengan hawa nafsu diri dan kelompoknya), karena masing-masing pendapat
tersebut berdasarkan ijtihad para ulama yang bersumber dari dalil-dalil
yang syar’i.
Bagi yang mengikuti pendapat pertama, maka dia memiliki dasar:
- Bahwa dari keterangan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin tadi, dalam
menentukan waktu masuknya bulan Dzulhijjah, insya Allah Pemerintah
Indonesia sudah menempuh upaya-upaya yang sesuai dengan syar’i, yaitu
ru’yatul hilal[1], yang kenyataannya pada 29 Dzulqa’dah petang, hilal bulan Dzulhijjah belum nampak, sehingga dilakukan ikmal (menyempurnakan/menggenapkan bulan Dzulqa’dah menjadi 30 hari). Ini semua adalah upaya yang sudah sesuai dengan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.[2]
- Dengan mengikuti pemerintah, syi’ar kebersamaan umat Islam di
negeri ini akan lebih terjaga, sebagaimana yang diisyaratkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:
الصوم يوم تصومون ، و الفطر يوم تفطرون ، و الأضحى يوم تضحون
“Berpuasa (adalah dilakukan di) hari kalian semua berpuasa,
beridul fithri (adalah dilakukan di) hari kalian beridul fithri, dan
beridul adha (adalah dilakukan di) kalian beridul adha (melakukan
penyembelihan).” [HR. At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah]
Dan bagi yang mengikuti pendapat kedua, dia memiliki dasar:
- Puasa Arafah disesuaikan waktunya dengan waktu wukufnya jama’ah
haji di Arafah. Sesuai dengan namanya, bahwa puasa Arafah adalah puasa
yang dilakukan ketika jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah. Wallahu
a’lam.
- Pemerintah memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk memilih
waktu puasa dan hari rayanya, sehingga kalau dia berpuasa dan berhari
raya tidak bersamaan waktunya dengan pemerintah, ini bukan termasuk
bentuk ketidaktaatan kepada waliyul amr.
- Adapun untuk shalat id-nya, boleh bagi dia untuk melakukannya
bersamaan dengan pemerintah karena biasanya mayoritas umat Islam di
negeri ini mengikuti pemerintah, sehingga jika dikhawatirkan timbul
fitnah, tidak mengapa untuk melakukan shalat id sesuai dengan
pemerintah negeri ini, berbeda dengan puasa yang itu merupakan amalan
yang tidak nampak.
Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Walaupun pemerintah juga menggunakan metode hisab, namun metode ini tidak teranggap karena tidak sesuai dengan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua dan kepada pemerintah negeri ini.
[2]
Berbeda dengan yang dituduhkan oleh kelompok sempalan yang dalam
pergerakannya banyak menyelisihi syari’at semisal Majelis Mujahidin
(Indonesia) yang menyatakan bahwa penetapan awal Dzulhijjah oleh
pemerintah RI adalah tidak sah sebagai pegangan Syar’i karena menyalahi
penetapan wukuf Arafah. Demikian maklumat yang mereka keluarkan.
Wallahu a’lam, sebagaimana yang biasa mereka lakukan, apakah keputusan
ini lebih dominan didorong dari sikap kebencian mereka kepada
pemerintah atau karena yang lain?