Bismillahirrahmanirrahim
Maha Suci Allah, Dzat yang
tidak satupun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Menatap dan Maha Mendengar. Merupakan
sebuah karunia ketika diri ini diberi kesempatan menjalani aktivitas di Rumah
Sakit. Karena disinilah, Allah SWT mengajarkan kepada diri ini untuk memetik
berjuta hikmah ketika berhadapan pada dua sisi bernama HIDUP dan KEMATIAN.
Beberapa waktu lalu, saat
sedang menyaksikan tayangan di televisi, di akhir acara tersebut, dibawakanlah
lagu Bimbo “Ada Sajadah Panjang Terbentang”. Ketika diri ini menghayati bait
demi bait lagu tersebut, saya pun tertegun dan merasa malu. Meski mengetahui
bahwa hidup didunia ini tidak selamanya, namun pemaknaan tentang cara menjalani
hidup yang sebentar ini masih harus perlu dibenahi. Saya hadirkan tulisan ini
agar menjadi pengingat dalam rangka menasehati diri pribadi dan bagi siapa saja
yang ingin membacanya.
Saudaraku,
Dalam sholat yang kita
tegakkan, kita selalu mengikrarkan: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku
dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya dan demikianlah
yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan
diri kepada Allah." (Al-An'aam 162-163)
Sudahkah hidup kita sejalan
dengan ikrar yang selalu kita ucapkan? Sholat kita hanya untuk Allah? Ibadah
kita hanya untuk Allah? Hidup dan mati kita hanya untuk Allah?
Saudaraku,
Celaan terhadap dunia
sebagaimana yang tersebut dalam Al-Quran dan As-Sunnah bukanlah celaan yang
ditujukan kepada siang dan malam yang berlangsung sampai hari kiamat, karena
Allah SWT memang menjadikannya berganti-ganti sebagai masa untuk berzikir dan bersyukur
bagi manusia yang menginginkannya. Tidak pula ditujukan kepada bumi, tempat
dunia ini berada. Bukan pula pada gunung-gunung, lautan, dan kekayaan yang ada
didalamnya. Karena semua ini merupakan nikmat Allah SWT bagi manusia agar
mereka dapat mengambil manfaatnya, mengambil pelajarannya serta menjadikannya
sebagai bukti kebesaran Allah azza wa jalla.
Saudaraku,
Ketahuilah bahwasanya celaan itu ditujukan kepada
manusia, kepada diri-diri yang terlenakan oleh dunia. “Sesungguhnya kehidupan
dunia itu hanyalah permainan, senda gurau yang melalaikan, perhiasan, saling
berbangga diri diantara kalian dan saling memperbanyak harta dan anak. (QS
AlHadid:20)”
Saudaraku,
Baginda Rasul pernah
menasihati seorang sahabat dengan mengatakan, “Di dunia ini, jadilah kamu
seperti orang asing atau seorang pengembara”. Dalam pengembaraan ini, manusia
terbagi menjadi dua kelompok besar:
Golongan pertama adalah mereka
yang mengingkari adanya kampung akhirat, adanya hari dibangkitkan setelah
kematian serta adanya hari pembalasan setelah kehidupan dunia. “Sesungguhnya orang-orang yang tidak
mengharapkan pertemuan dengan Kami, merasa puas dengan kehidupan dunia dan
merasa tentram dengan kehidupan itu serta orang-orang yang melalaikan ayat-ayat
Kami, mereka itu tempatnya adalah di neraka, disebabkan apa yang selalu mereka
kerjakan.(QS.Yunus:7)”
Mereka adalah orang–orang
yang seluruh hidupnya hanya digunakan untuk bersenang-senang, menikmati dunia
dan berusaha mencapainya sebelum kematian tiba. “Dan orang-orang kafir itu
bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya
binatang-binatang. Neraka adalah tempat tinggal mereka” (QS.Muhammad:12).
Saudaraku,
Tahukah golongan kedua yang
dimaksud? Mereka adalah orang-orang yang menyakini adanya alam pembalasan
setelah kematian. Diantara mereka pun berbeda-beda dalam memaknai hidup
sehingga mereka terbagi lagi menjadi tiga golongan; golongan pertama yang
paling banyak jumlahnya, mereka beriman kepada akhirat, namun tidak mengerti
apa itu dunia, bahwa ia sebagai tempat berbekal menuju akhirat. Waktu mereka
lebih banyak dihabiskan untuk bersenang-senang. Golongan kedua adalah mereka
yang melaksanakan seluruh yang wajib, lalu membiarkan dirinya bersenang-senang
menikmati dunia. Dan terakhir, jumlah mereka paling sedikit, mereka adalah
orang yang paham tujuan dari dunia, memahami bahwa kehidupan ini adalah ujian
untuk mengetahui siapa yang paling baik amalnya. Hidup bergelimang harta maupun
tidak memiliki harta sama sekali, senang ataupun duka, sebagai atasan maupun
bawahan, semuanya dipandang sebagai ujian. Mari kita tanyakan pada
jiwa-jiwa kita (Dan biarkan jiwa-jiwa
menjawab dengan kejujuran), Berada digolongan mana diri-diri kita?
Saudaraku,
Indah sekali perkataan
seorang Hasan Al-Bashriy, “betapa indahnya dunia ini bagi seorang mukmin;
karena ia beramal sedikit saja dan mengambil bekalnya disana menuju surga. Dan betapa buruknya dunia ini bagi
orang kafir dan munafik, karena keduanya menyia-nyiakan malam-malam di dunia
dan dunia ini menjadi bekal mereka menuju neraka.”
Saudaraku,
Sungguh hidup ini ibarat hamparan sajadah
panjang yang terbentang. Ia memiliki batas akhir yang tentu saja berbeda
kadarnya bagi setiap orang. Itulah umur.
Ia dimisalkan seperti sekantung pasir dengan lobang kecil di bagian bawahnya.
Pasir itu akan jatuh sedikit demi sedikit hingga kantung tersebut akan menjadi
kosong. “Umur itu pendek, maka jangan diperpendek dengan kelalaian.” Sehingga
bagi seorang mukmin, ia mengambil dunia sekadar memenuhi kebutuhannya beribadah
kepada Allah, bukan dijadikan sebagai maksud dan tujuan dari hidupnya. Seperti
kendaraan yang singgah di tempat pengisian bahan bakar minyak, setelah
keperluannya selesai, kendaraan itupun segera pergi karena sang supir sadar,
bahwa tempat pemberhentianya bukanlah disit, melainkan di rumah.
Saudaraku,
Sungguh, hidup ini ibarat
hamparan sajadah panjang yang terbentang. Imam syafi’I dalam salah satu wasiat
sebelum sepeninggalnya menasihati “..Aku menyakini bahwa Allah pasti akan
membangkitkan mereka yang berada dalam kubur. Aku mengimani syurga dan neraka
adalah benar adanya, dan mengimani bahwa azab kubur, hisab, misan dan shirath
adalah benar. aku menyakini bahwa Allah pasti akan membalas hamba-hamba Nya sesuai
perbuatan mereka. Atas keyakinan demikianlah, aku hidup, mati dan dibangkitkan
kelak. Insya Allah…”
Dari nasihat ini, beliau
menegaskan akan pentingnya membangun kesadaran akan memahami hidup ini. Apa
yang akan kita jawab pada hari hisab, pada saat kita ditanya? Sebab ditanya,
itu pasti. Tapi bagaimana dan dengan apa kita menjawabnya?”.
Saudaraku,
Sekali lagi, sungguh hidup ini ibarat hamparan
sajadah panjang yang terbentang. Setiap saat dan tempat, dalam setiap aktivitas,
kita harus senantiasa berzikir kepada Allah SWT. Menyandarkan segala sesuatu
semata karena-Nya. Mari kita bentangkan sajadah tersebut tidak terbatas
pada mushola/masjid, pengajian-pengajian ataupun dalam ibadah sholat semata.
Namun bentangkanlah sajadah itu memasuki gedung-gedung pencakar langit, pusat
perbelanjaan, rumah sakit, sekolah, perkantoran dan lain sebagainya. Semuanya dikerjakan dalam rangka mencari keridhoan
Allah SWT semata. Tentu ini bukanlah perkara sulit ketika kita memiliki
pemahaman yang utuh tentang hidup ini, tentang umur ini dan tentang hakikat
diri.
Wallahu ‘alam
0 komentar:
Posting Komentar