Hari ini hujan sangat deras mengguyur
kota ini hingga banjir yang senantiasa menjadi tamu tahunan mengenangi beberapa
ruas jalan. Dengan malas, ku bulatkan
tekad untuk melewati banjir tersebut dengan berjalan kaki. Motor terpaksa ku
titipkan ke pemilik warnet, tempat ku bernaung dari tadi. Hujan kali ini
benar-benar sangat deras. Sesekali kilatan petir dan suara gemuruh langit
menggelegar.
“Apa
gak tunggu banjirnya reda saja, nduk?” Tanya si mbah, orang tua pemilik
warnet.
“Gak
mbah, saya jalan kaki saja. Gak terlalu jauh koq. Saya titip motor dulu ya
mbah. Abis Magrib, saya ambil. “ jawab ku ketika sedang bersiap memakai
jaket dan mengambil helm.
“Oh
gitu, hati-hati nduk.” Pesan si mbah kepadaku.
“Nggih
mbah, assalamualaikum.” Ku pun berlalu meninggalkan warnet dan si mbah.
Selama melewati banjir, ku berjalan
sangat hati-hati. Takut tergelincir. Kaos kaki putih yang ku kenakan sekarang
berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Begitu sampai dirumah, segera ku cuci
kaki beserta kaos kaki yang ku kenakan dan langsung ku jemur.
Sebuah pengalaman serupa mengarungi
banjir yang jauh lebih tinggi pernah ku alami beberapa tahun lalu. Saking
derasnya banjir tersebut, membuat sandal ku sempat hanyut walau akhirnya ku berhasil
mendapatkannya kembali (semau ini tidak lepas dari bantuan dan kesigapan
teman-teman yang saat itu berjalan di belakangku^__^). Waktu itu, kami baru
saja usai mengikuti kelas bahasa Arab di sebuah masjid yang tidak jauh dari tempat
tinggalku.
Kisah diatas hanyalah sebuah kisah yang
menginspirasi tulisan ini. Tulisan yang mengenangkanku pada sosok guru bahasa
Arab kami. (Semoga Allah senantiasa
merahmati beliau. Allahumma amin). Sekilas anda melihatnya, mungkin anda
tidak akan menyangka beliau adalah seorang yang fasih bahasa Arab.
Penampilannya sangat sederhana saat mengajar. Selain plastik putih yang selalu melingkar di
pergelangan tangan beliau, tempat untuk menaruh buku-buku serta kopiah hitam
yang menutupi sebagian rambut beliau yang telah memutih, maka tidak ada
kemewahan yang melekat pada diri beliau. Kesederhanaannya itulah yang membakar
semangat kami para muridnya untuk setia hadir di kelas bahasa Arab tersebut
setiap hari Rabu dan Ahad sore. Timbul rasa malu luar biasa pada diri ini jika
mendapati guru tersebut telah duduk manis menunggu kedatangan kami.
Di usianya yang sangat tua dengan jalan
sedikit membungkuk serta rambut yang telah memutih tidak sedikitpun mengurangi
semangat (ghiroh) beliau untuk
menempuh perjalanan kiloan meter dari pinggiran kota hanya untuk membagi
ilmunya kepada kami. Beliau tidak pernah meminta kami untuk membayar iuran
bulanan meski beliau seringkali harus menyisihkan uang pribadi sebagai ongkos angkot (nama angkutan umum di kota ini)
untuk sampai ke masjid ini. Sesekali anak lelaki beliau menghantar atau
menjemput beliau. Entah apa yang memotivasi beliau sedemikian kuatnya hingga
sedikitpun beliau tidak pernah lelah mengajar kami dan tidak pernah mengeluh
sedikitpun. Pernah suatu ketika, kami berinisiatif untuk mengumpulkan iuran
bulanan, namun beliau menolaknya dengan mengatakan “uangnya dipakai untuk keperluan kuliah saja”. Subhanallah,
kata-kata itu begitu sangat tulus keluar dari mulut beliau. Beliau menyayangi
kami seperti cucunya. Beliau benar-benar memperlakukan kami seperti seorang
kakek ketika mengajari cucunya karena kebiasaan beliau menyuguhkan permen yang
telah dipersiapkan di kantung bajunya saat pelajaran berlangsung. Awalnya kami
merasa “kikuk’ diperlakukan sedemikian istimewa oleh sang guru, namun akhirnya
kami terbiasa dengan hal tersebut. Inilah yang terkadang menjadi guyonan
diantara kami di akhir kalimat SMS ketika mengingatkan jadwal kelas bahasa Arab
esok harinya, “Jangan telat ya, ntar gak
diberikan permen ukhti!!!”
Maha besar Allah yang telah
mempertemukan ku dan teman-teman dengan seorang guru sejati yang mengajarkan
banyak hal. Hari ini kutemukan jawaban yang pernah ku tanyakan sendiri dalam
diri. Apa yang memotivasi beliau sehingga begitu tulus mengajari kami. Inilah jawabnya,
sepertinya beliau benar-benar memahami hadist Rasullullah saw “Apabila anak
adam meninggal dunia, maka putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara:
shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh/ah. “ (HR. Muslim,
Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad & Nasai).
Tidak hanya itu, sepertinya Guru saya
tersebut mengetahui benar nasihat dari ulama besar Imam Syafii dan
mengamalkannya. Pernah suatu ketika, Imam Syafii diminta untuk memberikan
sebuah nasihat kepada Abu Abdus Shomad, seorang guru yang mendidik anak-anak
khalifah Harun Ar-Rasyid. Imam Syafii lalu berkata kepada Abu Abdus Shomad:
“Hendaklah hal yang pertama dimulai dalam mendidik adalah memperbaiki dirimu.
Mata-mata mereka bergantung pada matamu. Dan kebaikan mereka adalah kebaikan
apa yang engkau lakukan. Keburukan bagi mereka adalah sesuatu yang engkau
benci. Ajarkanlah mereka kitabullah, Janganlah engkau memaksakan mereka
sehingga mereka bosan. Dan janganlah engkau meninggalkan mereka dari Al-Quran
lalu mereka akan meninggalkannya. Kemudian ceritakan pada mereka dari
hadist-hadist yang mulia dan pepatah nasehat. Dan janganlah kau ajarkan mereka
suatu ilmu kemudian pindah pada ilmu yang lain sehingga mereka memahaminya.
Maka sesungguhnya perkataan yang
bertumpuk-tumpuk dalam pendengaran akan menyusahkan pemahaman. “ (Mauqif
Fii Az Zuhd wa Roqoiq: 70)
Tidaklah berlebihan jika ku berasumsi
bahwa gaya seorang guru saat mengajar sangatlah berpengaruh terhadap semangat
atau tidaknya anak didiknya dalam belajar. Menjadi malas atau bahkan takut.
Keteladanan seorang pendidik, bahkan bisa menyihir anak didiknya sehingga mereka bercita ingin
menjadi seperti guru tersebut. Seperti suatu ketika, seorang guru TK bertanya kepada anak-anak didiknya, “Apa
cita-cita kalian ketika besar?”. Dengan polos, anak-anak tersebut menjawab
“Ingin menjadi seperti ibu guru!!!”.
*kepada
guruku,
Ilmumu ibarat
telaga yang tiada pernah kering memberikan manfaat
Kehadiranmu senantiasa
memberikan kehangatan kepada anak didikmu
Hanya sebuah
doa yang bisa ku ucapkan: “smoga Allah memberikan balasan syurga atas
kebaikan-kebaikanmu
Ingin ku
katakan, ku ingin menjadi seperti mu!!!
Samarinda, 24 April 2011
Pukul. 22.25 wita
0 komentar:
Posting Komentar