“Nak,
Ummi sekolah dulu ya.” Itulah
kata-kata yang tidak asing kami dengarkan ketika seorang ummahat sedang
memberikan pengertian kepada anak mereka sebelum meninggalkan anak-anak mereka
bersama kami, para hadonah di sebuah ruangan khusus.
Mereka bukanlah wanita biasa. Merekalah para
mujahidah sejati, pendamping mujahid dakwah yang secara sadar dan meyakini
dengan sepenuh hati bahwa dakwah ini adalah sebuah kewajiban yang tidak hanya
diperuntukkan untuk sebagian kaum saja (laki-laki) melainkan juga dibebankan
pada diri mereka tanpa meninggalkan kewajiban mereka yang lain, mengurus rumah
tangga serta mendidik anak-anak mereka.
Bagi mereka, rumah tangga bukanlah
halangan untuk tetap eksis dalam aktivitas dakwah. Waktu mereka tidaklah lebih
banyak namun mereka memilih untuk lebih sedikit beristirahat dan kemudian
melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka. Setiap harinya mereka berjibaku dengan
aktivitas mereka seorang istri. Mempersiapkan segala kebutuhan suami dan anak-anak
mereka. Tidak sedikit diantara mereka yang juga bekerja demi membantu menopang
perekonomian rumah tangga mereka. Bukan karena merasa kurang dengan nafkah yang
diberikan suami, karena banyak dari mereka adalah istri yang qonaah dan santun,
mereka cerdas mengolah keuangan rumah tangga baik ketika rezeki melimpah maupun
ketika paceklik melanda rumah tangga mereka.
Mereka memahami bahwa tugas berat mereka
adalah menghadirkan atmosfer jihad dalam rumah tangga mereka, membentuk
keluarga mujahid. Sebagai istri, mereka senantiasa meniupkan semangat dakwah
itu kepada sang suami. Ikhwan sekaliber Syaikh Hasan Al-Hudhaibi, keistiqomahannya
dalam dakwah tidak lepas dari peran dan keistiqomahan istri yang mendampinginya,
Sayidah Ni’mah Ummu Usamah. Komitmen sang istri terhadap dakwah Ilallah sangatlah
tinggi tanpa pernah meninggalkan kewajibannya dalam menjaga kemuliaan sang
suami. Saat mengantar suami keluar rumah, beliau mengenakan pakaian seindah
mungkin dan berdandan layaknya pengantin baru. Hal yang sama beliau lakukan
saat menyambut kepulangan sang suami.
Kata-kata semangat selalu mengiringi kepergian suami dan beliau selalu
menghadiahkan senyum saat suami tiba dirumah.
Hingga sampai suatu ketika, saat istri
seorang menteri datang menjenguk dan bermaksud menghibur Ummu Usamah dan
anak-anaknya ketika Syaikh Hasan Al-Hudhaibi dipenjara. Istri menteri tersebut
menjelaskan bahwa suaminya tengah mengusahakan agar suami beliau terhindar dari
perlakuan tidak baik selama dipenjara. Ummu Usamah berkata dengan tegas, “Sungguh, suamiku telah menjual dirinya untuk
Allah dan kami juga menjual diri kami untuk Allah. Bila semua itu terjadi
(hukuman mati dijatuhkan) karena takdir Allah maka tidak ada seorangpun akan melihat
kami, kecuali dalam ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan, sebab kami
serahkan sepenuhnya kepada Allah, kami mengharapkan pahalan_Nya dan kami sangat
berbahagia bila dapat menyusulnya sebagai syuhada…” usai berbicara seperti
itu, Ummu Usamah menengok kepada ketiga putrinya, “Itu pendapatku, bagaimana pendapat kalian anak-anakku? ” Serempak ketika
putrinya menjawab, “Pendapat kami sama
dengan pendapatmu, wahai Ibu.”
Semangat bergelora serupa juga dimiliki seorang
ibu di Palestina. Dengan lantang ia berkata ”Mereka mengira kami akan gentar dengan sikap buas mereka kepada
anak-anak kami. Dengarlah kami akan melahirkan lebih banyak mujahid untuk kami
didik menjadi tentara Allah!” Ia
berkata seperti itu setelah melihat anaknya yang masih kecil tertembak mati
oleh tentara Yahudi Laknatullah.
Dalam sebuah agenda siyasih, seorang
Ustadzah memberikan tausiyah, “Ibu-Ibu, kita harus berkontribusi untuk
memenangkan dakwah ini. Kita harus mendorong para suami untuk terlibat dalam
agenda siyasih ini. Jangan sampai kita tenang-tenang saja melihat suami kita hanya
berdiam diri dirumah sedangkan ikhwan lain sedang bergelut dengan kesibukan
dakwah. Jangan sampai baru pukul sepuluh malam, kita sudah sibuk mengotak-atik
HP, mengSMS suami untuk pulang padahal kita tahu kesibukan dakwah diluar sana
sangat banyak. Atau jangan sampai ketika suami pulang rumah, kita memasang
wajah cemberut. Justru seharusnya kita tanyakan “Bi…jam segini koq uda pulang?
Apa masang spanduknya uda selesai?”
Disinilah letak perbedaan seorang ummahat
dalam sebuah rumah tangga terbina dengan rumah tangga pada umumnya, bahwa
disaat mereka sedang berkutat dengan permasalahan dapur, kontrakan rumah,
pendidikan dan kesehatan anak, serta permasalahan keluarga lainnya, maka seorang
ummahat yang tarbiyah tidak hanya akan mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada
permasalahan itu semata melainkan menjadikan permasalahan dakwah juga adalah
bagian dari dirinya. Ia menjadikan semua itu sebagai sarana latihan untuk
menjelang momentum pengorbanan yang sesungguhnya. Diri, suami dan anak-anaknya
dipersembahkannya untuk Allah. Semua ia lakukan karena ia menyakini bahwa janji
Allah adalah pasti bagi orang-orang beriman dan Allah tidak pernah menyalahi
janji. Kebahagiaan dan keberkahan dalam kehidupan keluarga diperoleh didunia
maupun akhirat. Kelak di ujung jalan
panjang ini, Allah akan menghimpun diri dan keluarganya kembali di Jannah-Nya
yang kekal.
Seperti keyakinan seorang akhwat, Aminah
Quthub atas janji Allah untuk pertemuan dirinya kembali dengan sang suami di
firdaus-Nya. Keyakinan itu tersirat dalam syair yang beliau buat saat kematian
sang suami:
Aku
tidak menunggu kepulangan dan janji-janji senja
Aku
tidak menunggu kereta akan kembali membawa secercah harapan
Kau
tinggalkan aku mengarungi hari-hari dalam kebisuan derita
Kau
lihatkah rinduku untuk surga atau cinta kelangitan
Kau
lihatkah janji itu untuk Allah
Sudah
tibakah saat pemenuhannya?
Aku
berlalu bagai perindu
Sebagai
pemabuk yang cinta mendengarkan panggilan
Kau
jumpaikah di sana para kekasih
Apa
warna pertemuan itu?
Dalam
hijaunya surga, dalam firdaus dan gemuruh karunia
Di
negeri kebenaran kalian berkumpul
Dalam
damai dan perlindungan
Jika
memang karena itu, selamat datang kematian berlumur darah
Akankah
ku menemuimu disana, tinggalkan negeri derita
Ya,
kan kutemui kau di sana
Janji
yang diyakini orang-orang yang jujur
Kita
dapatkan balasan atas hari-hari yang kita lalui
Dalam
derita dan cobaan
Kita
kan di jaga dalam kebaikan
Tanpa
takut akan perpisahan dan kefanaan.
***
Ukhti,
Katakan: Inilah jalanku!!! Orientasi
dakwah ini haruslah tertanam pada diri seorang muslimah. Menyadari kita bukanlah orang yang hebat, yang
senantiasa tegar dan teguh dalam permasalahan yang menghampiri, untuk itulah
tarbiyah sangat penting untuk mampu menjaga orientasi ini. Tidak hanya untuk
para ummahat namun juga untuk semua akhwat harus dipersiapkan melalui kegiatan
tarbiyah yang terprogram untuk menjadikan diri mereka sebagai pelaku dakwah,
pelaku pembangunan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan tanpa menafikan
peran laki-laki dalam pembinaan keluarga. Sehingga keluarga yang terbentuk
adalah keluarga yang berkhidmat kepada Islam.
So Ukhti, sudahkah kita mempersiapkan
diri kita menjadi seperti mereka, para Ummahat tangguh???
Allahu ‘alam bi showab
Semoga bermanfaat terutama bagi diri
pribadi dan pembaca
Samarinda, 23 Oktober 2011
Ditulis dengan penuh keimanan dan harapan setelah menjalankan
tugas sebagai hadonah ^^
*hadonah: akhwat yang bertugas mengasuh anak-anak kader yang
sedang mengikuti acara dakwah
*Ummahat: akhwat yang telah berumah tangga.
1 komentar:
bagus banget ilmunya:)
Posting Komentar