Seorang
wanita berjilbab biru tampak sedang membelokkan motornya memasuki halaman
masjid. Sebuah masjid yang berada tepat di pusat kota, berdiri kokoh didepan gedung
mall terbesar yang ada di Samarinda. Masjid tersebut menjadi pilihan bagi
orang-orang yang terpanggil jiwanya ketika lantunan azan berkumandang. Bagi
sebagian kecil orang-orang yang tergerak hatinya meninggalkan sejenak rutinitas
dunia untuk menghadap Ilahi. Bersembah sujud menanggalkan segala kesombongan
dan keangkuhan sebagai makhluk terbaik di alam ini. Bersembah sujud dalam kehinaan
dan kerendahan jiwa menyadari diri sebagai makhluk yang tidak ada daya kuasa dihadapan
Sang Khalik. Auriya memilih masjid tersebut karena tidak jauh dari acara Tatsqif
yang akan didatanginya.Begitu memasuki halaman masjid, mata Auriya menyisir ke
area parkir. Mencari tempat yang kosong diantara deretan kendaraan bermotor
para jamaah yang berjejal.
“Nah,
disana.” bisik hati Auriya
Setelah memarkirkan motor, Auriya menuju ke
ruang wudhu wanita. Kesegaran air wudhu itu tidak hanya mampu menyejukkan
jiwanya namun juga mampu mengangkat debu yang terpapar di wajahnya selama
perjalanan. Rasa haus yang kian menambah berat radang tenggorakannya sedikit
berkurang. Setelah menunaikan solat Asar, Auriya melihat ke arah jam tangannya.
Sudah menunjukkan pukul 15.40 WITA.
Ketika keluar
dari pintu masjid, tiba-tiba ada seorang anak kecil yang menghampirinya. “Mba,
beli Koran saya. Harganya Cuma Rp.2500.” Pinta anak tersebut.
“Maaf dek,
saya tidak ingin membelinya.” Jawab Auriya.
“Ini adalah
Koran saya yang terakhir. Saya uda menawarkan ke beberapa orang daritadi namun
tidak ada yang mau membelinya. Saya harus segera pulang mba karena adik saya
sakit.”
Pandangan
Auriya tertuju kepada anak laki-laki yang kini tepat berada didepannya.
Badannya kecil dan kulitnya hitam karena sering terpapar matahari sepanjang
hari. Baju yang dikenakannya sangat lusuh dan kotor. Wajahnya tampak lebih tua
dibandingkan usianya yang ditafsir Auriya sekitar 9 tahun.
“Apakah ini
disebabkan beratnya ujian yang telah dilewatinya selama ini, sehingga hidup ini
telah mendewasakan dirinya?” Auriya sibuk berspekulasi sendiri. Lama
dipandangnya anak tersebut.
“Mba, apa
mau membeli Koran ini? Mungkin berita di koran ini sudah mba baca, sehingga mb
tidak mau membelinya. Namun, saya harap
mba mau membantu saya dengan membeli Koran terakhir ini.”
“Baiklah
dek, saya beli.” Auriya merogoh isi tasnya mencari dompet yang terselip
diantara jas koas dan buku-bukunya. Diambilnya uang kertas Rp.20.000 dan
diberikan ke anak tersebut.
“Ini uangnya
dek.” Kata Auriya sambil mengulurkan tangannya.
Dahi anak
tersebut mengkerut. “Mba, apa ada uang pas? Maaf saya tidak memiliki uang
kembalian.”
“Kalo gitu,
kembaliannya buat adek saja.” Jawab Auriya mantap.
Dengan
sedikit terkejut dan wajahnya terlihat girang. “Iya kah mba? Kenapa mba baik
sekali sama saya?
Dengan
tersenyum, Auriya menjawab, “Anggap saja itu sedekah saya.”
“Maaf mba,
saya tidak bermaksud menolak kebaikan hati mba, tapi orang tua saya melarang
saya menerima belas kasih orang secara cuma-cuma. Karena itu bisa membuat
seseorang menjadi malas dan tidak ingin bekerja. Apa ada yang bisa saya lakukan
untuk membalas kebaikan hati mba?”
Entah apa
yang membuat hati Auriya terpesona dengan kata-kata yang barusan diucapkan anak
tersebut. Kini gadis itu menyadari anak yang berdiri didepannya bukanlah anak
biasa. Ia begitu berkarakter dan berpendirian teguh.
“Kamu kan
bisa tidak menceritakan hal ini kepada orang tuamu atau kamu bisa mengatakan
kalo uang ini adalah bonus dari agen Koran-mu karena kamu giat bekerja?” Kini,
Auriya ingin menguji anak tersebut dan membuktikan penilaiannya.
“Tidak mba,
saya tidak biasa menerima kebaikan orang begitu saja apalagi kalo berbohong
kepada orang tua saya.” Jawab anak tersebut.
Auriya
benar-benar terpukau dengan kepribadian anak tersebut. Sangat langka menemukan
orang seperti ini zaman sekarang. Bagi anak seusianya, mungkin akan memilih untuk
berlalu begitu saja saat Auriya mengatakan akan memberikan sisa uang tersebut.
“Ah, ku akan
meninggalkan pelajaran yang berharga dari anak hebat ini jika ku biarkan ia
pergi sekarang.” Bisik hati Auriya.
“Apa kamu
sudah makan dek?” Tanya Auriya sambil melangkah menuju parkiran. Anak tersebut
mengikuti dan menggeleng kepalanya.
“Kalo gitu,
ikut saya. Tentu orang tuamu tidak akan memarahimu hanya karena menemani saya
makan. Hanya itu tawaran saya untuk melunasi utang budi kamu. Gimana?”
Anak itu
hanya tertunduk dan diam.
“Diam berarti
sepakat. Ayo kita cari tempat makan terdekat. Kita makan diwarung bakso sana
saja ya?” Ajak Auriya.
Auriya
berjalan berdampingan bersama dengan anak tersebut menuju warung bakso yang ada
didepan pintu pagar masjid. Setelah memesan makan dan minum, Auriya memulai kembali
pembicaraan.
“Dek, kamu
tinggal dimana? Tadi kamu mengatakan adikmu sedang sakit. Apa benar? Tanya
Auriya.
“Saya tinggal
di sekitar pelabuhan mba. Adik saya beberapa hari ini badannya panas dan selalu
menangis. Ibu di rumah kewalahan mengurusinya tadi pagi. Biasanya tiap jam 6
pagi ibu keliling menjual nasi kuning dari rumah ke rumah. Adik di rumah
bersama saya sampai ibu pulang. Baru setelah itu saya berangkat menjual koran
di perempatan sini mba. Tapi tadi pagi, ibu tidak jualan karena adik saya
rewel. Karena itu, saya agak siang meninggalkan rumah tidak seperti biasa.
Koran yang saya ambil juga lebih banyak dari biasanya agar saya bisa bawa
pulang banyak uang hari ini.” Pembicaraan
mereka terputus ketika penjual bakso membawakan pesanan kami.
“Ayo dek,
sambil dimakan.” Kata Auriya.
“ Apa kamu
sekolah dek? Oia, ayah kerja dimana? Tanya Auriya kembali.
“Saya
berhenti sekolah waktu Bapak saya meninggal. Sejak itu, saya membantu Ibu mencari
uang untuk makan kami sehari-hari. Bapak meninggal waktu adik saya berumur 3
bulan karena sakit. Sekarang umur adik saya 2 tahun. Cantik dan manis kayak mba.”
Terlihat sekali anak tersebut berusaha menutupi kesedihannya dengan candaan.
“Jadi
dirumah cuma bertiga saja dengan adik dan ibu ya? Pasti mereka bangga denganmu
dek. Semoga ketika dewasa nanti, kamu bisa menjadi orang besar. Jangan pernah
putus asa dan giatlah bekerja. Orang yang sukses bukanlah dilihat dari tinggi
sekolahnya semata tapi dari sejauh mana ia mampu memaknai hidup hingga dia
memiliki tujuan hidup.” Urai Auriya.
“Iya mb…orang
besar adalah orang yang hidup tidak hanya untuk dirinya sendiri tapi juga
bermanfaat bagi orang lain sedangkan orang yang kerdil ketika ia hanya hidup
untuk dirinya sendiri. Betul gak mba?
“Subhanallah.
Darimana kamu mendapatkan kata-kata seperti itu dek. Itu adalah perkataan yang
pernah diucapkan oleh syekh sayyid Quthb, seorang ulama besar di Mesir?” Tanya Auriya
semakin terkagum dengan anak yang duduk dihadapannya saat ini.
“Ibu saya
yang mengatakannya mba.”
“Kalo gitu,
ibumu bukanlah orang sembarangan. Ia pasti wanita luar biasa sehingga memiliki
anak sehebat kamu juga. Mba beruntung sekali jika bisa bertemu dengan ibumu.
Sayang, mba harus pergi sekarang. Ada yang harus mba kerjakan.” Jawab Auriya
sambil berdiri membayar makanan-minuman mereka.
“Ayo dek,
hari semakin sore. Ibumu mungkin telah menunggumu dirumah. ini sebagai hadiah
untukmu.” Kata Auriya sambil menyerahkan Al-Quran terjemahan miliknya beserta
dua bungkusan bakso untuk ibu dan adiknya dirumah.
“Mba, apa
ini tidak berlebihan? ” Tanya si anak dengan
mata berkaca-kaca.
Auriya
sedikit membungkuk, kedua tangannya memegang bahu anak kecil tersebut. Sambil
tersenyum, Auriya bertanya.”Namamu siapa dek, dari tadi kita belum kenalan.”
“Muhammad
Faiz.” Jawab anak tersebut seketika.
“Nama yang
bagus. Apa yang telah kamu ajarkan hari ini tidak sebanding dengan ini.. Terlalu banyak ilmu yang saya dapatkan hari ini. Ilmu
kesabaran, syukur, kejujuran serta teguh dalam pendirian telah dek Faiz ajarkan
dalam pertemuan kita yang singkat ini. Mungkin setelah ini kita tidak bertemu
lagi, semoga Al-Quran ini bisa mengingatkanmu pada mba dan kepada Rabb yang
begitu sayang dengan kita. Kelak kalo bertemu lagi, mba mau punya waktu lama
denganmu hingga bisa mendengarmu mengaji. Gimana, mau mengabulkan permintaan
mba?” Pinta Auriya.
“Iya mba,
saya tunggu waktu indah itu seperti hari ini. Nama mba siapa? ”Tanya Faiz.
Auriya
tersenyum. “Adek bisa memanggil saya, mba Auriya. mba harus pergi sekarang dek. moga kita bisa bertemu lagi. Assalamu’alaikum”
Auriya berlalu dari anak kecil itu menuju parkiran.
Sebelum
meninggalkan halaman masjid, Auriya melihat ke anak kecil tersebut yang dari
tadi belum beranjak dan terus menatap Auriya.
“Sungguh sangat
indah setiap urusan orang mukmin. Ketika ia mendapat kebahagiaan, ia bersyukur
dan ketika ia mendapat kesusahan, ia bersabar dan mengucapkan “segalanya adalah
milik-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Sehingga tidak ada satu detikpun berlalu
tanpa zikir didalamnya”
“Boleh jadi
masalah yang dihadapi lebih dalam dari lautan, lebih tinggi dari langit, lebih
luas dari samudra, lebih banyak dari butiran pasir serta lebih besar dari
gunung, tetapi kebesaran dan kuasa Allah selalu lebih dari segalanya…”
-Selesai-
* kisah fiksi
Ditulis Samarinda, 28 Juni 2011
Pukul 10.30 WITA
Dalam melewati detik-detik berlalu di ruang coass
forensik RSUD