Siapa yang tidak rindu menghadapkan
wajahnya di Baitullah? Beribadah, bermunajat dan menjadi saksi sejarah
kenabian?
Di antara mereka para perindu, tidak
sedikit yang hanya membangun impian dan mimpi tersebut di dalam hati mereka.
Secara zahir, makkah sangat jauh dari pelupuk mata, namun tidak dengan hati
mereka yang merindukannya setiap saat, setiap waktu. Dalam setiap munajat
pun selalu terlantun: Hambu-Mu datang menyahut panggilan-Mu, Ya Allah!
Hambu-Mu datang menyahut panggilan-Mu, Hamba-Mu datang menyahut panggilan-Mu,
Tuhan yang tidak ada sekutu bagi-Mu. Hamba-Mu datang menyahut panggilan-Mu,
sesungguhnya segala pujian, nikmat dan pemerintahan adalah kepunyaan-Mu, tidak
ada sekutu bagi-Mu.
Saya
hadirkan untuk berbagi kisah yang berulang kali saya baca setiap memasuki awal
bulan dzulhijjah. Sebuah kisah dari buku “Warisan Para Awliya” karya Farid
al-Din Attar (semoga Allah merahmati beliau) membawa pada perenungan
mendalam bagi jiwa-jiwa yang merindukan Baitullah. Moga bermanfaat.
Abdullah
bin al-Mubarak* hidup di Mekkah. Pada suatu waktu, setelah menyelesaikan ritual
ibadah haji, dia tertidur dan bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari
langit.
“Berapa
banyak yang datang tahun ini?” tanya malaikat kepada malaikat lainnya.
“600.000,”
jawab malaikat lainnya.
“Berapa
banyak mereka yang ibadah hajinya diterima?”
“Tidak
satupun”
Percakapan
ini membuat Abdullah gemetar. “Apa?” aku menangis. “Semua orang-orang ini telah
datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan
di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasing yang luas, dan semua
usaha mereka menjadi sia-sia?”
“Ada
seorang tukang sepatu di Damaskus yang dipanggil Ali bin Mowaffaq.” Kata
malaikat yang pertama. “Dia tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah
hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni.”
Ketika
aku mendengar hal ini, aku terbangun dan memutuskan untuk pergi menuju Damaskus
dan mengunjungi orang ini. Jadi aku pergi ke Damaskus dan menemukan tempat
dimana ia tinggal. Aku menyapanya dan ia keluar. “ Siapakah namamu dan
pekerjaan apa yang kau lakukan?” tanyaku. “Aku Ali bin Mowaffaq, penjual
sepatu. Siapakah namamu?”
Kepadanya
aku mengatakan Abdullah bin al-Mubarak. Ia tiba-tiba menangis dan jatuh
pingsan. Ketika ia sadar, aku memohon agar ia bercerita kepadaku. Dia
mengatakan: “Selama 40 tahun aku telah rindu untuk melakukan perjalanan haji
ini. Aku telah menyisihkan 350 dirham dari hasil berdagang sepatu. Tahun ini
aku memutuskan untuk pergi ke Mekkah, sejak istriku mengandung. Suatu hari
istriku mencium aroma makanan yang sedang dimasak oleh tetangga sebelah, dan
memohon kepadaku agar ia bisa mencicipinya sedikit. Aku pergi menuju tetangga
sebelah, mengetuk pintunya kemudian menjelaskan situasinya. Tetanggaku mendadak
menagis. “Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa,” katanya. “Hari ini
aku melihat keledai mati tergeletak dan memotongnya kemudian memasaknya untuk
mereka. Ini bukan makanan yang halal bagimu.” Hatiku serasa terbakar ketika aku
mendengar ceritanya. Aku mengambil 350 dirhamku dan memberikan kepadanya.
“Belanjakan ini untuk anakmu,” kataku. “Inilah perjalanan hajiku.”
“Malaikat
berbicara dengan nyata di dalam mimpiku,” kata Abdullah, “dan Penguasa kerajaan
surga adalah benar dalam keputusanNya.”
******
*Abu
Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al Marwazi lahir pada tahun 118
H/736 M. Ia adalah seorang ahli Hadits yang terkemuka dan seorang petapa
termasyhur. Ia sangat ahli di dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, antara
lain di dalam bidang gramatika dan kesusastraan. Ia adalah seorang saudagar
kaya yang banyak memberi bantuan kepada orang-orang miskin. Ia meninggal dunia
di kota Hit yang terletak di tepi sungai Euphrat pada tahun 181 H/797 M.